Rabu, 26 September 2007

CERPEN

MENGEJAR MIMPI

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang.
“Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.
Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak dua bulan lalu sedang pengeluaranku malah bertambah. Entah kesulitan apa yang dialami keluargaku sampai jatahku pun ikut dipotong. Aku tidak berani melayangkan surat keluhan. Jadinya, aku kebingungan sendiri di sini.
***
Seperti lagunya Franky S, hari ini terik seperti membakar tapak kakiku. Aku memandangi kakiku. Tapal sepatuku tampaknya mulai menipis. Tapi, sudahlah…aku tidak begitu memusingkannya. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting daripada membeli sepatu baru.
Aku memilih jalan kaki, walau di tengah terik begini. Jika naik becak atau ojek, setidaknya butuh tiga ribu-an. Aku tersenyum menertawai diri sendiri. Saking kerenya, untuk diri sendiri pun aku perhitungan banget.
Aku mempercepat langkahku. Dari jauh tampak Asri duduk di teras. Syukurlah dia ada di rumah. Perjalananku tidak sia-sia. Aku bela-belain ke rumahnya demi tugas dari dosen yang mesti diketik.
“Eh, Sam …masuk,” tegurnya begitu aku tiba di depan pagar.
Aku tersenyum. Dalam hati, aku sibuk mencari kata yang pas. Aku merasa tidak enak, hampir tiap hari aku kesini untuk mengetik.
“Ada tugas lagi..?” Tanya Asri akhirnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.
Asri mengajakku masuk ke kamarnya. Dengan ragu, kuikuti dari belakang. Asri lalu meninggalkanku setelah aku mulai sibuk di depan komputer.
“Mau minum, Sam?” Ia muncul lagi di depan pintu kamar. Kerongkonganku yang sejak tadi kering memaksaku mengangguk. Tak berapa lama, Asri kembali dengan dua gelas minuman dinginnya.
Setelah ketikanku selesai, kami duduk di teras menikmati kue kecil bikinan mamanya Asri.
“Terima kasih, Tante,” senyumku malu-malu menjawab tawaran mamanya Asri saat memintaku mencicipi kue.
Sementara Asri dengan seru bercerita tentang kesibukan barunya sebagai anggota multilevel marketing berikut janji-janji surga yang nantinya akan didapat, aku malah sibuk memikirkan cara mencari tambahan uang. Jika hanya bergantung dari kiriman orang tua rasanya tidak mungkin lagi.
“Menurutmu pekerjaan apa yang cocok buatku,” tanyaku memotong ceritanya.
“Tentu saja bukan MLM,” sambungku cepat sebelum Asri sempat menjawab. Ia sudah sering menawariku bergabung tapi berkali-kali kutolak. Bisnis seperti itu tidak cocok denganku. Aku tidak punya bakat merayu orang. Lagian, bisnis MLM butuh modal yang tidak sedikit.
Asri pun mulai membeberkan segala jenis pekerjaan yang memungkinkan dilakukan sambil kuliah, mulai dari penjaga toko part time hingga jadi guru private. Dengan berbagai dalih, semua tak mengundang minatku. Jadi penjaga toko? Bagaimana dengan kuliahku? Aku takut pemilik toko nantinya menuntut waktu yang lebih banyak. Guru private? Yang benar saja.... Belajar untuk kuliahku saja, aku sudah kewalahan. Apalagi jika mesti mengajar anaknya orang. Kayaknya aku nggak bakalan sanggup memikul tanggung jawab sebesar itu.
Hingga menjelang sore saat bersiap pulang, pembicaraan kami tak menghasilkan satu kesimpulan untuk membantuku.
***
Deringan weker memaksaku bangun. Aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudhu, kulirik weker yang menunjuk angka 6 dan 12.
“Telat lagi…,” gumamku.
Sehabis sembahyang, aku terdiam lama di atas sajadah.
“H-minus dua...,” lagi-lagi aku bergumam. Aku berharap lusa kiriman uangku sudah ada
Biasanya di hari minggu pagi, anak-anak seisi rumah kost-an ini rame-rame jalan menikmati udara pagi. Tapi kali ini aku malas ikut. Semalaman begadang membuat seluruh badanku lemas. Aku kembali berbaring, setelah mengunci kamar.
Pikiranku menerawang. Kutatap langit-pangit kamar yang catnya mulai usang. Kuliah memang impianku saat masih di SMU dulu. Saat itu, tak terpikirkan kesulitan-kesulitan yang bakal aku hadapi seperti sekarang.
Pandanganku beralih pada sebarisan semut yang panjang menuju kaleng biskuit tempatku menyimpan beras. Aku segera bangkit meraih sapu yang bersandar di dekat pintu.
Aku tidak jadi membongkar barisan rapi itu. Mataku tertumbuk pada seekor semut kecil yang susah payah menyeret sebutir beras. Seekor yang lain menggigit ujung beras yang satunya. Mungkin bermaksud membantu atau merebut butir beras itu, entah. Semut kecil itu kemudian berhasil mengangkat sendiri butir beras yang dua kali ukuran tubuhnya.
Sesaat aku tertegun. Pandanganku mengikuti semut kecil itu hingga keluar kamar. Seekor lagi berhenti dan menggerakkan kaki depannya di hadapanku seolah berkata,”Apa kau tak punya kerjaan lain selain mengamati kami!” Aku tersenyum sendiri. Kuputuskan menghabiskan pagi ini dengan membersihkan kamar.
Menjelang siang, pekerjaanku selesai. Kuhapus peluh di dahiku dengan punggung tangan. Barisan semut itu sudah tidak ada lagi, tapi bayangan semut kecil tadi belum hilang dari pikiranku.
Dibandingkan denganku, semut memang tidak ada apa-apanya. Tapi semut kecil itu sudah mengalahkanku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu dengan mengeluh dan mengeluh, tanpa melakukan apapun.
***
“Asri!” panggilku mengejar langkahnya yang terburu-buru.
“Hei! Tugas kalkulus-mu sudah selesai, Sam?” tanyanya begitu aku tiba di sampingnya. Aku mengangguk.
“Aku nyontek, dong....aku nggak sempat selesaikan. Kemarin aku mesti mengambil titipan barang dan mengantarkannya,” lanjutnya.
“Ini....” Aku menyerahkan beberapa lembar kertas tugasku yang kususun rapi semalam.
Aku prihatin dengan kesibukan Asri akhir-akhir ini. Tugas kuliahnya banyak terbengkalai demi mengejar pesanan.
“Asri...aku pikir waktumu terlalu banyak kau jatahkan untuk kegiatanmu di luar. Sebagai teman, aku tidak ingin kuliahmu berantakan. Nanti kau bakal menyesal...,” ucapku menasehatinya saat istirahat.
Asri hanya tersenyum menanggapiku. Seperti biasa, dengan diplomasinya ia berkilah,” Yaa...namanya juga usaha, butuh sedikit pengorbanan.”
“Lagian, aku bisa mengandalkanmu, kan?” senyumnya menggodaku.
Aku ikut tersenyum. Aku rasa ia menyindirku. Selama ini ia telah banyak memberiku saran untuk jalan keluar masalahku, tapi aku masih menimbang ini dan itu. Aku malah pernah disebutnya pengecut karena terlalu banyak pertimbangan sebelum memulai apapun.
Pembicaraan kami terpotong, seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Entah siapa, mungkin pelanggan baru.
“Aku ke sana dulu. Nanti temani aku ke pak Arsyad, ya...?”
“Untuk apa ?” tanyaku. Ia tak menjawab. Asri tampak serius berbicara dengan orang itu. Aku lantas duduk di depan kelas menunggunya.
Aku berjalan cepat mengikuti irama langkah Asri di sampingku. Jarak kelas ke kantor pak Arsyad memang cukup jauh. Sejak tadi Asri hanya diam. Pertanyaanku pun tidak digubrisnya.
“Siang, Pak,” sapanya saat tiba di depan kantor.
“Siang,” balas pak Arsyad yang duduk di belakang meja, “Masuk!”
Asri melangkah masuk. Aku mengekor di belakangnya.
“Begini pak..., bapak pernah bilang butuh seorang laboran lagi untuk membantu pegawai Lab di sini,” ucap Asri.
Aku memandangnya tak mengerti. Asri mau jadi Laboran? Maruk amat nih anak. Apa kesibukan di MLM-nya belum cukup. Ditambah dengan kerja di Lab...itu sama saja bunuh diri!
“Kamu bersedia? Tanya pak Arsyad sambil melepas kacamatanya.
“Bukan saya Pak, tapi teman saya.” Asri menunjukku. Mataku membelalak ke arahnya, ia cuma nyengir. Sialan!
Kamu mau?” tanya pak Arsyad lagi, kali ini dengan memandangiku.
“Tapi....” Aku agak ragu.
“Dia mau koq, Pak,” Asri memotong bicaraku.
“Saya ndak nanya kamu,” tegur pak Arsyad yang membuat Asri cengengesan.
Aku melirik Asri yang menatapku tajam.
“Saya...bersedia, Pak,” jawabku pasrah.
“Oke, tugasmu tidak sulit tapi juga tidak gampang. Kamu mesti berada di Lab sebelum praktikum mulai hingga praktikum benar-benar selesai,” jelasnya. Aku mengangguk.
“Besok kamu kesini untuk pengenalan alat-alat,” lanjutnya.
“Soal gaji...kita bicarakan besok...,” ujar pak Arsyad saat kami pamitan.
“Kau gila!” teriakku pada Asri saat berada di luar.
“Kau kira tugas seperti ini mudah!? Kenapa tidak tanya aku dulu....” Aku mencengkram lengannya.
“Dan kau akan memikirkannya seribu kali. Bagaimana jika begini dan begitu. Lalu kau tidak akan mengambil kesempatan ini. Iya kan?” Aku terdiam dan melepas cengkramanku.
“Jangan dipikirkan lagi, ini kesempatan bagus....”
“Ya sudah...aku duluan,” ucapnya mempercepat langkah dan meninggalkanku. Dia tampak terburu-buru.
Aku hanya diam.. Terbayang kesibukanku nanti melayani di Lab di sela waktu kuliahku. Entah apa aku bisa menjalaninya.
“Thanks!” teriakku kemudian. Asri melambaikan tangan tanpa menoleh.
Aku menghentikan langkah. Di depanku melintas seekor semut kecil dengan bawaannya. Aku tersenyum dan membiarkannya lewat.
“Aku juga bisa...,” ucapku. Beberapa orang menoleh dan memandang heran ke arahku.
Aku tersadar. Kulanjutkan langkah menuju kelas.
#selesai#

Tidak ada komentar: