Kamis, 06 Desember 2007

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari (2)

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari (2)

Lalu aku pun menyebutnya maha guru. Dia pun kelihatannya tak keberatan.

Pagi ini aku menatapnya seperti kemarin. Mukaku pucat meski dia tampak berusaha menghangatkan diriku. Sehelai dasi terjuntai di tanganku. Jasku kulempar di atas rumput. Terbayang wajah atasanku dengan kening berkerut memandangi surat di tangannya. Surat pengunduran diriku. Dia tampak gusar. Lalu aku teringat saat aku pertama datang kepadanya. Dengan penuh semangat, dia menjabat tanganku. Selamat bergabung! Energi dan potensi anda seperti matahari, ucapnya saat itu.

Kau pikir mudah dapat kerja! Kau mau jadi apa? Dia berusaha mengubah pikiranku.
Matahari, Pak, ucapku sebelum meninggalkan kantornya.

Kupandangi laju mobilku, pelan meninggalkanku. Pak Sopir akan membawanya ke kantor. Mobil itu barang pertama yang disita kantor. Aku memandang matahari dengan putus asa. Dengan sisa percayaku yang kutahu tak berguna lagi.
aku memicingkan mata karena silau. Aku tak bisa sepertimu, bisikku. Dan matahari berteriak garang, bertahanlah! Aku merasa kulitku terbakar.

Aku sebenarnya tidak ingin memunculkan diri lagi di depannya. Tapi entah apa yang selalu membawaku kembali padanya. Dan dia sudah di sana. menunggu, seperti kemarin-kemarin. tepat, seperti yang dijanjikannya. Sepertinya tidak ada yang bisa mencegahnya. Begitu melihatku, ia tersenyum. Meski ia telah memenangkan perdebatan kemarin. Senyumnya bukanlah senyum kemenangan. Aku tergugah lagi. kupandangi dirinya yang bersinar terang sampai-sampai panasnya hampir membakar retinaku.
Siap belajar lagi? tanyanya. Kukumpulkan keberanianku yang berceceran sampai akhirnya aku mengangguk lemah.

Dia tersenyum lalu melesat tinggi. Panasnya bertambah berlipat-lipat. Aku memakai topiku karena tak tahan. Kenapa? tanyanya. Panas? Aku mengangguk karena tidak bisa menyembunyikan butiran keringatku yang membasahi muka hingga punggungku. Haruskah ku kurangi panasku? Haruskah aku kembali ke posisi yang tadi? posisi dimana kau merasa nyaman? tanyanya lagi. Aku segera mengangguk setuju karena benar-benar kepanasan. Dia tersenyum. Lalu katanya, tidak. Tidak akan mungkin. Aku adalah waktu, dan waktu tidak pernah kembali.
Aku adalah waktu. Tidak ada yang bisa menghalangi siang, ataupun mencegah malam, Katanya lagi.

Aku menunduk resah. Aku tidak bisa mengembalikan waktu. Dan terbayang seluruh tempat ini tertutupi oleh dua bangunan besar. Dan sebuah menara pemantul gelombang dari satelit berdiri tak jauh dari sana.

Aku memandang senyumnya yang mulai melembut. Segumpal awan menari di sekitarnya. Aku melangkah gontai menjauhinya meski ia meneriakiku berkali-kali. Kembali! Kembalilah, teriaknya.
Aku tetap melangkah meski sisa keberanianku meronta-ronta memaksaku berbalik.
Tak berapa jauh langkahku, aku berhenti. Dan kudengar ia berteriak lagi, Pergilah! Tapi kembalilah besok pagi. Aku menunggumu di ufuk timur.

Pergilah! Ini memang sudah saatnya untuk pergi. Seseorang menungguku untuk interview. Sebuah pekerjaan dengan gaji berlipat-lipat lebih kecil dari gajiku sebelumnya menungguku. Dan sepertinya aku akan terlambat lagi hari ini. Aku berhenti karena di pikiranku terlintas sesuatu, apa kau pernah terlambat, matahari? Tapi tak jadi kutanyakan.
Aku kemudian berbalik menatapnya. Besok aku ke sini lagi, janjiku meski mungkin tak seperti janjinya.


Perihnya masih terasa, sakitnya tak terhingga
nafsu ingin berkuasa sungguh mahal ongkosnya

Apapun yang kan terjadi, aku takkan lari
apalagi bersembunyi, takkan pernah terjadi

air mata darah telah tumpah demi ambisi membangun negeri
kalaulah ini pengorbanan, tentu bukan milik segelintir orang

Belum cukupkah semua ini, apakah tidak berarti?!
lihatlah wajah ibu pertiwi, pucat letih dan sedihnya berkarat!
berdoa, terus berdoa hingga mulutnya berbusa-busa
ludahnya muncrat saking kecewa
ibu pertiwi hilang tawanya
tak percaya masih ada

hingga seluruh hidup pun jadi siaga
agar perduli kutancapkan di hati

untukmu negeri yang telah memberi arti
untukmu negeri yang telah melukai ibu kami
untukmu negeri yang telah merampas anak kami
untukmu negeri yang telah memperkosa saudara kami
untukmu negeri, waspadalah
untukmu negeri, bangkitlah
untukmu negeri, bersatulah
untukmu negeri, sejahteralah kamu negeriku


(Untukmu negeri, By Iwan Fals)



Tamalanrea, November 07

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari

Kalau boleh, aku mengatas namakan matahari-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan bumi-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan hutan-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan laut-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan tanah dan air-NYA

Kalau boleh, Aku mengatas namakan ibu,
Atas nama pertiwi ku,

Kepada anda yang menghianati ibu
Kutulis ini untuk mereka yang tak henti kau peras untuk mengisi kantungmu!!!!

Tertanda,

Anak negeri



Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari



Aku menyebutnya maha guru. Mungkin dia tidak akan keberatan.
Pagi itu, entah dari mana pikiran gila itu muncul. Aku menyuruh sopir menghentikan mobil, lalu aku turun. Pak, tunggu saya di perempatan, ucapku saat itu. Pak sopir tampak keheranan dengan kelakuanku yang sangat tidak biasa tapi ia kemudian mengangguk. Aku memandangi AVP hitamku yang melaju pelan menjauhiku. Lalu mataku beralih ke sekitar jalan. Sejak kapan jalan seperti ini? Kenapa aku tidak pernah melihat yang seperti ini? Tapi aku lalu menertawai diri. Aku memang melewati jalan ini setiap hari. setiap harinya! Tapi aku di dalam mobil, tertutup. Dan di dalam mobil, mana sempat melihat ke jalan. Sebab di tanganku sudah ada setumpuk kertas yang menyita seluruh perhatianku.

Rumput-rumput di pinggirannya hijau segar. Aku memperlambat langkahku, menikmati setiap jejak udara dingin yang menyusupi kulitku. Ternyata dingin yang kurasakan berbeda dengan dingin yang keluar dari AC mobilku. ini jauh lebih segar. Aku mengendorkan dasi dan membuka kancing atas kemejaku. Membiarkan angin dingin menyusup lebih jauh.
Aku kemudian menghela nafas. Awalnya berat. Bagaimana tidak? Di pikiranku melintas bayangan atasanku dengan muka menegang menatapku. Proyek ini tidak boleh gagal! Perusahaan sudah berkorban banyak! Kerugian akan sangat besar! ucapnya meninggi. Yah, proyek yang dipercayakan padaku memang diujung tanduk. Aku bahkan belum berhasil mencapai kesepakatan dengan para pemilik tanah yang akan dijadikan lahan proyek.

Aku menarik nafas lagi. Kali ini terasa lebih ringan. Udara segar memenuhi rongga dadaku. Seperti ada yang mengangkat bebanku sebentar. Terima kasih, ucapku pelan. Entah pada siapa.
Aku menebar pandanganku lalu kulihat sebuah senyum muncul di sana. Wajahnya bersinar. kemilaunya hangat menyapa. Selamat pagi, ucapnya. Aku menoleh, dia bicara padaku? Ah, tidak. Sepertinya dia menyapa semua yang ada di sini. Selamat pagi, dia terdengar lagi.
Pagi, balasku lesu.
Kupikir suaraku yang menggema. Tapi ternyata bukan hanya aku yang membalas sapanya. Dan berbeda denganku semua tampak bersemangat menyambut kedatangannya. Aku tergugah. Siapa dia?

Lalu aku teringat dua hari yang lalu. Dengan modal senyum dan sapaan itu, aku berdiri di depan sekelompok masyarakat yang menuntut tanah mereka. Tidak ada yang menyambutku sehangat mereka menyambut matahari.

Aku mungkin mulai gila. Tapi dia benar-benar menatap dan tersenyum padaku.

Ada apa, anak muda? Dari semua yang nampak dari sini, kau yang terlihat paling merana, senyumnya. Aku melihat sekelilingku. Dia benar, semua tampak bahagia pagi ini. Sepasang petani tua di ujung mataku tampak mesra saling melayani. Sekelompok petani berjalan sambil memanggul pacul, riuh saling melempar sapa. Barisan padi menghijau terhampar, meliuk-liuk menyambut sinarnya. Rumput-rumput ikut menari di sekitarnya.

Tiiit...tiiit, alarm jam di pergelangan tanganku berbunyi. Aku bangkit. Banyak hal yang harus kuselesaikan pagi ini. Aku menyusuri jalan menuju perempatan tempat mobilku diparkir. Di setiap langkah, aku tidak henti berpikir. Jalan ini nantinya akan bertambah 5 meter ke samping kiri dan kanan. Di pinggir jalan, berderet rumah-rumah yang tersusun rapi hingga ke ujungnya. Rumah-rumah ini akan lenyap, bisikku. Aku berhenti sejenak. Pandanganku berhenti di sebuah sumber riuh tak jauh tempatku berdiri. Sejenak aku terpana. Sekelompok anak kecil berlarian mengejar dan memperebutkan bola. Lalu aku melihat diriku yang masih kanak ikut berlarian dan tertawa. Yang lain menertawakan langkah kecilku. Tapi aku tak peduli. Aku ikut memperebutkan bola. Dan di atas kepala kami, sebuah bola besar bercahaya ikut menyaksikan jalannya permainan. Keringatku tampak bercucuran tapi aku tidak peduli. Aku terus saja berlari meski tak pernah sekalipun menyentuh bola.

Dia menatapku dan berteriak, Lihat mereka! Mereka adalah dirimu! Keringatku meleleh di sudut dahiku. Kemudian dia tersenyum. Kau sama seperti mereka. Sama-sama berlari. Mereka mengejar bola. Dan kau mengejar sesuatu yang tidak ada.

Aku berjalan melanjutkan langkah. Tidak mempedullikan teriakannya. Lapangan itu juga akan lenyap, bisikku lagi. Aku sendiri tak tahu, Nuraniku lenyap ke mana.

Engkau tetap sahabatku

dia adalah sahabatku bahkan lebih
dia adalah yang diburu datang padaku
sekedar tempat lelah dan sembunyi untuk berlari lagi

dia adalah yang terbuang mengetuk pintuku
penuh luka di punggungnya, merah hitam
dia menjadi terbuang setelah harapannya dibuang

bapaknya pegawai kecil kelas sendal jepit
yang kini di dalam penjara sebab bela anaknya
untuk darah daging yang tercinta selesaikan sekolah

sahabatku gantikan bapaknya coba mencari kerja
namun yang didapat cemooh, harga dirinya berontak!
lalu dia tetapkan hati, hancurkan sang penguak!

air putih aku hidangkan, aku di persimpangan
aku hitung semua lukanya
seribu bahkan lebih, sejuta, lebih

pagi buta dia berangkat diam-diam
masih sempat selimuti aku yang tertidur
aku terharu, doaku untukmu

sebutir peluru yang tertinggal di bawah bantalnya
kuberi tali jadikan kalung lalu kukenakan
sekedar pengingatmu kawan, yang terus berlari

selamat jalan, kawan
selamat menangi air mata
hei, sahabat yang terbuang...engkau sahabatku, tetap sahabatku...

engkau sahabatku, tetap sahabatku

('Engkau tetap sahabatku'iwan fals)

Minggu, 02 Desember 2007

My Favourite song

"Everybody's Changing"

You say you wander your own land
But when I think about it
I don't see how you can
You're aching, you're breaking
And I can see the pain in your eyes
Says everybody's changing
And I don't know why

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same

You're gone from here
And soon you will disappear
Fading into beautiful light
Cause everybody's changing
And I don't feel right

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same

Kamis, 29 November 2007

oleh-oleh dari European in Screen

Tanggal 24 – 25 November kemarin, bertempat di kafe buku Biblioholic, Jl. Perintis Kemerdekaan Tamalanrea Makassar, diselenggarakan pemutaran film Eropa yang merupakan rangkaian Festival Film Eropa (European Film Festival) yang diadakan di beberapa kota di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bandung, Medan, Banda Aceh, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.

European in Screen’, begitu mereka menyebut festival ini, memutar beberapa film Eropa dan film-film pendek dari Indonesia. Karena tema yang diusung dalam acara ini adalah multikulturalisme, maka film-film yang diputar pun menonjolkan keberagaman budaya-budaya yang ada di Eropa, perbedaan ras, agama dan tradisi, serta latar belakang pemikiran, dan bagaimana perbedaan-perbedaan itu hidup bersama dalam satu wilayah, bahkan dalam lingkungan kecil, dengan berbagai konflik yang kemudian muncul.

Konflik yang terjadi tidak melulu karena perbedaan-perbedaan tersebut, tapi seperti yang juga terjadi pada kebanyakan film. Ada yang menampilkan konflik keluarga, seperti pada Love Lorn, yang menggunakan perselingkuhan sebagai sentral ceritanya. Film ini mengisahkan Nazim, seorang pensiunan yang gagal dalam membina hubungan baik dengan anak-anaknya kemudian bertemu dengan seorang wanita, bernama Dunya, yang telah bersuami dan memiliki seorang puteri.

Pertemuan mereka dan ‘pertemanan’ yang terjalin diantara mereka mendapat pertentangan terutama dai keluarga Nazim. Si wanita diceritakan mendapatkan pertolongan dengan bertemu Nazim setelah ketidakharmonisan yang terjadi dalam rumah tangganya. Bahkan putrinya terkena penyakit ‘malas bicara’ karena telah banyak menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya yang seorang psikopat. Nizam kemudian berusaha menyelamatkan hidup wanita itu, bukan dengan membawanya kabur trus happy ever after berdua, tetapi dengan memaksa suami Dunya menjadi orang baik, ayah, bahkan suami yang baik.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Setelah Dunya kembali mengalami pemukulan, ia pun lari dan mengadu pada Nizam. Apa yang terjadi berikutnya? Ending dari film ini benar-benar tidak diduga sebelumnya. Sang suami, setelah menyadari tidak bisa membujuk istrinya kembali, memutuskan untuk mati setelah menembak kepalanya sendiri. Hal ini dilakukannya setelah menembak kepala isterinya lebih dulu. Tragedi ini berlangsung di depan mata Nizam dan puteri mereka. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan Dunya seperti yang selalu ia ingin lakukan selama ini.

Film ini mengandung pesan bahwa hidup adalah pilihan, seperti yang diucapkan Nizam pada suatu waktu dalam film tersebut. Suami Dunya memilih mati sementara Dunya pun telah memilih. Ia memilih meninggalkan suaminya dan tidak akan memberi kesempatan lagi. Meski untuk itu, ia harus mati. Dan Nizam? Dia pun memiliki konflik sendiri diakibatkan oleh pilihan-pilihannya. Lalu bagaimana dengan puteri Dunya? Apa ia punya kesempatan memilih?

Benang merah dari film-film yang ditayangkan pada Festival Film Eropa ini adalah multikulturalisme di Eropa, sehingga film-film tersebut pada umumnya bercerita bagaimana seseorang atau sebuah keluarga menghadapi tradisi dan budaya yang berbeda dari tradisi di tempat asalnya dan bagaimana ia hidup dalam lingkungan asing tersebut. Seperti pada Polleke yang mengisahkan keluarga Mimoen dari Maroko yang menetap di Belanda. Kemudian Zozo, seorang anak yang akar keluarganya dari Swedia, yang tinggal di Lebanon ketika masa perang, atau pada Almost Adult, yang mengangkat kisah Mamie, seorang imigran di Inggris, dan kemampuannya beradaptasi dan meyesuaikan diri di lingkungannya yang baru.

Festival Film Eropa ini menjadi menarik bukan hanya karena minimnya festival seperti ini digelar di Makassar, tapi karena tema budaya dan tradisi yang diangkat pada Festival ini. Bagi orang-orang Eropa, budaya Asia yang unik menjadi menarik sehingga membuat mereka datang kemari untuk melihat etnik yang berbeda dengan yang ada di negaranya. Ada sensasi tersendiri begitu menyaksikan adat dan budaya yang berbeda tersebut. Seperti itu juga bagi saya, bagi beberapa orang Asia mungkin, yang menjadi begitu tertarik untuk menyaksikan budaya dari Eropa ini.

Beberapa film menampilkan budaya dan adat yang berasal dari luar Eropa. Seperti bagaimana keluarga Mimoen yang berasal dari Maroko (dalam Polleke) ketika merayakan sebuah pesta pernikahan. Film ini, sesuai misinya, menunjukkan bagaimana budaya luar (luar Eropa) ada dan hidup, serta mampu bertahan bahkan diterima di tengah budaya Eropa. Festival ini secara garis besar menunjukkan bahwa kemajemukan atau pluralisme sudah menjadi bagian dari kehidupan Eropa.

Meniru ’tradisi’ yang dilakukan pak Bondan (dalam acara wisata kuliner) yang punya sesi dimana dia memilih masakan terlezat menurutnya dari beberapa kunjungannya di berbagai tempat makan pada satu episode, maka saya pun ingin memilih film terbaik menurut saya. Karena suka-suka saya, jadi tidak perlu kategori-kategori tertentu seperti yang digunakan oleh juri-juri perfilman, kan? Dan pilihan saya jatuh pada film (...goes to...) Almost Adult. Alasannya? Soal suka atau tidak suka, saya kadang tidak punya dan tidak butuh alasan. Tapi untuk kali ini saya punya alasan singkat. Karena Ceritanya sederhana, menyentuh, dan terasa nyata. Zozo pun menarik. tapi ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu ada. Ketika Zozo (berkhayal) menyaksikan sebuah titik cahaya yang berbicara padanya. Jika adegan ini dihilangkan, mungkin Zozo lebih menarik dan penonton tetap tidak akan kehilangan kesan bahwa Zozo sangat menderita kehilangan keluarganya dan karenanya ia membangun khayalannya dengan berbicara dengan ayam kecil (lucu!), bertemu ibunya (ini sih masih sangat wajar!), berbicara dengan Tuhan lewat cahaya (????). Mungkin jika Zozo berdialog dengan Tuhannya, mempertanyakan nasib dengan berbisik lirih (tanpa embel-embel cahaya), akan lebih menyentuh. Ini menurut saya lho....

Tidak hanya film Eropa, pada waktu jeda juga diputar Film pendek karya Andi Affan yang mengangkat isu flu burung di Indonesia sebagai temanya. Jika dibandingkan dengan film terdahulunya (Suster apung), maka saya lebih memilih Suster apung. Kenapa? Cerita Suster apung lebih menyentuh. Padahal pada filmnya kali ini, Andi Affan telah membuat tokoh utamanya se’menderita mungkin’ (kematian ayah plus penyakit asma yang dideritanya dan terancam kehilangan burung peliharaannya, yang merupakan ’warisan’ ayahnya, karena pemusnahan unggas secara massal pada waktu itu). Cerita Suster apung lebih mengharu biru meski terasa lucu. Membuat kita tertawa tapi miris. Mungkin karena kisah Suster apung benar-benar nyata, dengan kepolosan dan ketulusannya, tanpa rekayasa sedangkan filmnya yang satunya lagi lebih terasa fiksi meski mungkin benar-benar diangkat dari kisah nyata.

Harapan penulis, semoga acara yang berskala internasional seperti ini akan selalu diadakan di kota ini. Dan panitia penyelenggara acara pun lebih terbuka dalam mempromosikan dan mensosialisasikan acaranya sehingga tidak berkesan exsclusive.

Makassar, 26 Nopember 2007

Kamis, 15 November 2007

LUKISAN ANGIN

Tentang Angin Dan Ilalang
Sore itu terasa berbeda. Meski mataharinya sama. Angin yang bertiup, rumputnya, pohonnya, dan seorang laki-laki yang duduk disampingnya. Semua masih sama seperti kemarin-kemarin tapi tetap saja ia merasakan ada yang berbeda.
“Kemuning…,” panggil lelaki yang duduk di samping sang gadis.
Gadis itu menoleh. Dadanya berdegup menunggu. Dia yakin sekaranglah saatnya.
“Jika kau menjadi bagian bukit ini, kau ingin menjadi apa?” tanya sang lelaki.
Gadis itu diam sejenak. “Mmm….” Dia belum juga menemukan jawabannya. Pandangannya beredar mengitari hamparan rumput ilalang, tanah berbatu….
“Rumput!” Kata itu tercetus begitu saja.
“Rumput?” Gadis itu mengangguk mantap menunjuk salah satu batang rumput di depannya.
Si lelaki tersenyum. Dia bergerak meraih salah satu batang rumput.
“Jangan!” lelaki itu menoleh. Sejenak kemudian ia tersenyum mengerti. Ia tidak jadi mencabut rumput itu.
“Kenapa bukan kemuning?”
“Kemuning?” Si gadis mengitari bukit itu sekali lagi dengan matanya tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Tapi tidak ada kemuning di sini!” tukas si gadis.
“Aku akan menanamnya di sana.” Si lelaki menunjuk ke depan dan tersenyum pada gadisnya.
Mereka saling tatap lalu si gadis berkata lirih,”Aku jadi rumput saja….” Si lelaki menunduk dan menghela nafasnya. Dadanya terasa sakit. Nampaknya gadisnya telah mengerti maksudnya.
“…Toh akhirnya kau tetap akan meninggalkanku.”
“Aku tidak mungkin selamanya di sini. Dari awal kau sudah tahu itu.” Ia menatap mata gadisnya mencari persetujuan.”Ini satu-satunya kesempatanku. Di sana, aku bisa jadi pelukis terkenal.”
“Kau pun bisa melukis di sini….” Si gadis bertahan.
“Tanpa dikenal siapapun?! Aku butuh pengakuan untuk karyaku!” Si lelaki menatap tajam.
“Aku pun tidak mungkin membawa rumput ini pergi. Di sinilah dia hidup,” lirihnya kemudian.
“Kau tetap akan pergi?” Si lelaki menunduk, tak sanggup menatap telaga di mata gadisnya.
Mereka terdiam lama sampai akhirnya lelaki itu menuntun gadisnya beranjak dari tempat itu.
“Kau ingin menjadi apa?” Si gadis bersuara kembali setelah mereka menuruni bukit.
“Angin.”
Si gadis terdiam. Dengan menunduk, ia mengikuti langkah lelaki di depannya. Air matanya jatuh satu-satu. Jawaban itu telah menikam batinnya.

***
Aku memajang lukisan kesayanganku di dinding yang paling strategis. Sontak teman-temanku berkumpul membentuk setengah lingkaran lalu memandangi lukisanku itu dari setiap sisi.
“Bagus….”
“Iya, latarnya benar-benar indah.”
Beberapa komentar yang terdengar membesarkan hatiku. Aku tersenyum bangga menatap masterpieceku terpajang.
Lukisan itu tampak hidup. Seorang gadis berdiri di tengah ribuan rumput ilalang. Di depannya berdiri, sebuah taman kecil berisi bunga-bunga kemuning yang mengikuti gerakan ilalang yang tertiup angin. Gadis itu berdiri seolah akan terbang. Tangan kanannya terentang ke depan hendak meraih seberkas garis putih di depannya. Dia tampak seperti gadis yang menyambut sekaligus melepas kekasihnya pergi.
“Dari komposisi warna….” Semua yang ada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara. Begitu tahu siapa yang bicara, tawa langsung merebak. Semua tahu, Yusril bukan pelukis. Apalagi sampai tahu komposisi warna segala.
“Habis…kalian serius amat. Segitu terpesonanya,” sambarnya begitu tahu dirinya jadi bahan tertawaan.
“Cantik. Siapa gadis ini?”
***

masih nyambung....

Selasa, 13 November 2007

LIHAT KE LANGIT LUAS

Lihat ke langit luas, kawanku

Kita mungkin tak punya atap
Yang melindungi dari panas dan hujan
Kita mungkin tak punya selimut
Yang menahan dingin kala terlelap

Tapi lihatlah sekali lagi ke langit luas

Ada biru tempat kita menggantung harap
Ada angin yang membawa awan melukis mimpi
Bumi menghampar adalah rumah

Kita mungkin tak punya home theatre
Tapi imajinasi kita mampu terbang lebih jauh

Kita mungkin tak punya kulkas penyimpan makanan
Tapi pernahkah lapar sampai membunuhmu?


Apa yang membedakan kita dengan mereka, kawanku?
Mereka tertawa, kita pun mampu
Mereka terharu, kita pun punya air mata

Percayalah, kawanku
Mereka pun pernah merana dan terlunta-lunta

Kamis, 01 November 2007

aku sudah berlari semampuku
jika belum cukup, kutinggalkan hatiku
cacilah sepuasmu!

aku terlunta-lunta di antara terang dan gelap
mengemis tatap pada mata-mata sinis tak berampun
telah kulacurkan jiwaku hingga tak berharga lagi
tapi kutinggalkan jua percayaku untukmu
koyaklah! koyak sekuat tenagamu!

sudah... jangan meratap lagi!
akan kuberikan sisa harga diriku yang belum tergadai
makilah! sampai kau lelah dan tertidur

jika kau terbangun dan matahari masih segarang kemarin,
aku masih punya air mata yang akan menyejukkanmu

maros, okt 07

Sabtu, 27 Oktober 2007

justice or murder?

BINTANG DI ATAS LANGIT SENJA

Aku menatap jam di tanganku yang terus berdetak. Untuk sesaat, aku hanya mendengar detak jam yang seirama dengan detak jantungku, di tengah keramaian orang-orang yang juga sedang menunggu bus.
“Jam berapa?” tanya seorang bapak yang mungkin sedari tadi melihatku memperhatikan jam.
“Seperempat jam tiga.” Bapak itu kembali ke tempat duduknya setelah mengucapkan terima kasih.

Aku melangkah ke arah kedai minum. Aku berharap bisa membunuh rasa bosanku dengan beberapa teguk minuman dingin.
“Tidak ada uang kecilnya, De’?” tanya pemilik kedai minum
begitu kusodorkan uang duapuluh ribuan, aku menggeleng. Aku lalu duduk di bangku milik si penjual yang ditinggalkannya untuk menukar uang kembalian.
“Fantanya satu.” Seorang gadis menyodorkan uangnya padaku. Aku menerimanya setelah memberi minuman yang dimintanya. Kami berpandangan sesaat, ia terlihat kaget melihatku. Tapi aku tidak hanya kaget, aku benar-benar terpana. Senja itu telah pergi, meninggalkan hitam di dada ini. Tapi aku melihat semburat pagi membias indah di matanya.
“Terima kasih.” Dia masih sempat berpaling saat pergi. Aku mengawasi langkahnya, menjauh dan menghilang di tengah keramaian.
“Hei! Kenapa, De’?” Entah sejak kapan pemilik kedai itu berdiri di sampingku. Aku segera meraih uang kembalian dan berlalu dari tempat itu.

Suara menderu terdengar dari arah jalan raya menandakan bus yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku ikut berebut demi mendapatkan tempat yang nyaman. Beberapa yang lain turun kembali setelah menyimpan barangnya di kursi sebagai tanda kursi tersebut sudah ditempati. Aku memilih tetap ditempatku, menunggu bus berangkat. Kusandarkan kepala sambil memejamkan mataku, mengingat wajah yang tadi menatapku takjub. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.

Aku berlari pelan di antara barisan pohon kapuk yang memagari hamparan ladang yang luas. Pertengahan musim kemarau yang benar-benar panas. Bahkan pohon-pohon telah merelakan daun-daunnya gugur agar dapat bertahan. Tak terkecuali pohon kapuk di sepanjang jalan setapak itu. Daunnya hampir habis. Kulit buahnya mengering dan terbuka. Kapuk-kapuk berhamburan tertiup angin, sebagian jatuh di kepala dan pundakku. Salju putih, bisikku sambil tersenyum. Begitu aku menyebut benda kecil dan ringan itu di depannya, tiap kali bersamanya. Biasanya keningnya akan berkerut menanggapi ucapanku. Bibirnya membentuk tawa, memperlihatkan barisan gigi putihnya. “Dasar aneh!” Kata yang selalu dilontarkannya padaku.
Aku pun selalu menantikan langit pagi yang cerah, tanpa peduli sepanas apa siangnya nanti. Jika semburat pagi muncul, aku bersamanya melewati setapak itu. Menikmati udara pagi dan menyaksikan salju-salju itu jatuh dan tertiup angin.

Aku mengenalnya sebagai jiwa rapuh berbalut kerasnya batu karang. Sebagai bunga kecil di padang ilalang yang hanya tahu padang ilalang sebagai dunianya. Ia yang terlihat berjalan tegar tanpa ada yang tahu hatinya tertatih. Di mataku ia adalah si Upik abu yang tidak pernah bermimpi menjadi Cinderella atau siapapun. Ia membiarkan waktu berjalan dan menunggu kapan waktu benar-benar berhenti.

Dan aku menghampiri dunianya yang kecil itu. Bukan sebagai pangeran, tetapi sebagai mahasiswa Psikolog yang diutus demi tugas akhir. Ayahnya adalah mantan pasien dosen yang mengutusku. Entah kenapa, ayahnya menghentikan konsultasi dan memutuskan kontak.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa membuat ayahnya mau bicara denganku. Begitu pula dengan Wulan. Setiap kedatanganku disambutnya dengan tatapan dingin, meski di sana aku melihat beribu titik air mata yang membeku. Ayahnya yang di masa lalu adalah anak tunggal manja dengan perhatian yang melimpah tiba-tiba dihempas oleh kematian ibu dan isterinya dalam peristiwa kebakaran. Wulan kecil tumbuh menjadi pelindung dan satu-satunya pilar di rumahnya, tugas yang semestinya diemban ayahnya. Saat ayahnya butuh ibu, ia pun mengganti sosoknya sebagai ibu. Jika ayahnya butuh teman, ia pun merubah diri menjadi siapa pun yang dibutuhkan ayahnya. Ayahnya tak pernah tahu betapa ia berharap menjadi seorang anak perempuan di mata ayahnya. Keinginan-keinginan yang tak pernah terwujud terus menekannya, memaksanya menepi di sudut gelap, membangun dunianya sendiri di sana.

Dia membutuhkan bantuan lebih daripada ayahnya. Aku ingin membantunya melihat dunia yang maha luas ini. Membuatnya percaya akan ketulusan matahari memberikan sinarnya. Bagaimana indahnya bahasa langit yang menyapa bumi dengan titik-titik hujan.
Perlahan ia menerima uluran tanganku, dan ia selalu kubawa menyusuri jalan setapak itu. Membantunya mengukir senyum, merangkai tawa memberi warna di dinding hatinya. Dan bila bintang lupa bersinar di langit malamnya, aku datang membawakan setitik cahaya yang akan menemani senyum di tidurnya.

Seperti sebuah pukulan yang membuat dadaku sesak tiap kali mengingat senyum di wajah Awang. Senyum yang sama dengan senyummu saat memuji senja.

“Aku suka senja,” teriak Awang kala itu di kamar.
Aku tidak tahu sejak kapan Awang menyukai senja. Seperti aku tidak mengerti mengapa Wulan bisa begitu mengagumi senja. Yang aku tahu, Wulan sangat senang memandangi langit malam. Setiap bait, setiap lirik yang menyematkan kata bintang akan selalu disimpan dan diingatnya.
Aku kemudian mengerti setelah mendapati mereka duduk berdua di suatu senja. Aku melihat tawa yang sama saat bersamaku menikmati semilir angin pagi. Meski indah, tawa itu serasa sayatan di dadaku.
Bagaimana ia mengenal Awang? Sangat sederhana dibandingkan perkenalanku dengannya. Ia memanggil Awang dengan namaku. Kami memang dua manusia dari satu sel telur. Wajar jika Awang dipanggilnya dengan namaku.

Aku begitu membenci Awang, dengan semua permainannya yang sejak kecil mengharuskanku kalah. Aku tidak hanya membenci senja dan semua bait – bait puitisnya tentang senja yang ditinggalkan di mejanya, mungkin dengan sengaja agar aku melihatnya. Aku pun mulai benci melihat wajahku. Tiap kali melihat ke cermin, aku seperti melihat wajahnya yang menertawakanku.

Hari itu, hari dimana aku lebih memahami semuanya. Tentang senja, tentang Wulan, dan kebohongan Awang. Pagi itu benar-benar indah. Aku telah menuliskan banyak bintang untuknya tadi malam. Dan ia membacanya, melihat ke arahku, membacanya lagi, dan melihatku dengan sorot mata yang membuat hatiku sebiru langit pagi itu. Pagi yang indah, kalau saja Awang tidak muncul di depan kami.
“Gilang!” Wulan memandangi kami bergantian. Aku lebih terkejut lagi. Ia memanggil kami dengan nama yang sama! Awang bereaksi lebih cepat. Dia menarik tangan Wulan dan berlalu dari hadapanku yang masih mencerna apa yang terjadi.

Wulan benar-benar naif dan Awang mampu memanfaatkan itu. Dengan mudah Awang memperoleh maaf darinya, tapi aku tidak. Aku tidak akan memaafkannya! dan terjadilah peristiwa itu. Aku membunuh Awang. Aku tahu jantungnya lemah dan sangatlah mudah bagiku mempermainkan emosinya seperti yang juga dilakukannya terhadapku selama ini. Sebagai calon Psikolog, aku tahu betul emosi yang berlebih akan memacu aliran darahnya dan membuat degup jantungnya tidak normal…
Aku telah membunuhnya dan kuakui semuanya di depan hakim. Pengacara yang di sewa ayahku tak bisa berbuat apa-apa saat jaksa menjeratku dengan hukuman terberat.
***
Awal bulan Juli, bunga bermekaran dan hari selalu diawali dengan cerah. Aku di sini merekam satu per satu gambar di depanku. Barisan pohon kapuk yang mulai berbuah dan sekumpulan burung terbang mengarungi birunya langit. Aku masih ingat, saat kapal menepi di pelabuhan Makassar, betapa gumpalan rindu itu membuncah di tepian hatiku dan aku telah kembali menjawab semua riak rindu itu.

Hari-hari yang kulewati di kamar berjeruji itu lalu berpindah ke tempat rehabilitasi karena pembelaan terakhir pengacaraku yang mengklaimku tidak waras demi membebaskanku dari tuduhan, tidak juga membuatku mengerti untuk apa Awang dan aku melakukan semua ini. Demi dirinya? Atau hanya permainan kami dimana di setiap permainan Awang selalu harus menang?
Dulu aku selalu memaksakan waktuku luang di musim kemarau agar bisa berada di tempat ini bersamamu. Tapi sekarang aku menjauh dari tempat ini sebelum daun jatuh berguguran dan buah kapuk mengering. Tidak akan ada lagi pagi dengan semilir angin dan salju-salju bertebaran.
“Permisi.” Aku berhenti menulis dan menoleh ke arah munculnya suara tadi. Ia terkejut, ekspresi yang sama saat pertama kali melihatku. Gadis itu lalu duduk di sebelahku setelah menyimpan tas kecilnya di antara kami.
“Hai, jualannya sudah tutup, ya?” sapanya. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.
“Kenapa menatapku?” tanyaku. Padahal akulah yang tidak bisa melepaskan pandangan dari wajahnya.
“Oh, maaf. Kakak mirip seseorang,” jawabnya lalu meraih komik dari dalam tasnya dan tidak mempedulikanku lagi. Aku yang semestinya mengatakan itu.
Aku menatap matanya yang tenggelam di antara gambar-gambar komik. Ah, mereka tidak mirip, hanya jika dilihat dari jauh. Garis-garis wajahnya memang sama. Tatapannya pun beda.
“Kiri, Pak!” teriaknya lantang mengagetkanku.
“Maaf, permisi,” ujarnya sambil meraih tasnya.
“Itu....” Ia menggamit lenganku dan mengarahkan pandanganku ke seseorang yang menunggu di bangku halte.
“Kakak mirip dengannya,” senyumnya. Aku tersentak, wajah Awang yang pucat melemah hadir di depanku.
Ia tersenyum membalas lambaian gadis di sampingku.
“Kalian mirip, kan?”
“Dia mirip Awang,” ucapku lirih.
“Awang?”
Laki-laki itu berdiri menyambut gadis yang baru turun dari bus. Bus kembali bergerak meninggalkan mereka. Gadis itu melambaikan tangannya padaku dan aku melihat Awang dan wulan berdiri disana.
Senja mulai turun saat bus tiba di pemberhentian terakhir. Aku melambaikan tangan ke arah becak yang parkir di pinggir jalan.
“Pelabuhan…tiga ribu,” tawarku. Si tukang becak mengangguk.

Becak melaju menuju tempat yang kuminta. Sementara di langit sana sebuah bintang mulai hadir. Bersinar sangat terang seolah ingin mengalahkan matahari yang mulai memerah.
Andai aku tahu, ia hanya punya 24 jam setelah hari naas itu, ini tidak perlu terjadi. Aku tidak akan memaksa Awang meninggalkan dunia ini. Aku akan membiarkan Wulan bersama dengan siapapun yang diinginkannya.


*SELESAI*

Kamis, 25 Oktober 2007

DEAR GOD

DEAR GOD,
YA ALLAH, Maha Besar Engkau yang memiliki langit dan seluruh cahaya di angkasa, bumi dan seluruh isinya.
Maha Kasih Engkau yang menghidupi seluruh makhlukMu, merawat mereka yang lemah dan luka, membesarkan dan mengawasi setiap mereka tanpa pilih.
Maha kaya Engkau dan Maha Pemberi, yang dengan hartaMU yang tak habis-habis menafkahi seluruh isi bumi, mengenyangkan perut-perut yang lapar, menyirami akar-akar yang kering, memenuhi dan memuaskan setiap pori.
Maha cerdas Engkau yang menjadikan hidup sebagai proses meski KAU sanggup mengadakan yang tiada dengan satu kata. Dengan ilmuMU yang tak berbatas, Engkau mengajari makhlukMU tentang hidup dan hakekat dari setiap proses dan perjalanan.
Ya Allah, Engkau Yang Maha Mendengar setiap getar hati yang bersembunyi, setiap denyut yang merintih, memahami setiap kata yang bisu.
Engkau yang Maha Melihat. TatapanMU menembus jantung dan mengoyak kepura-puraan.

Tuhanku,
KAU yang membasuh jiwa-jiwa yang luka, tempat mengadu ketika jatuh, tempat bersandar ketika hati telah lelah.

Tuhanku yang Maha Pengampun.
Telah kukoyak kepercayaanku dengan keragu-raguan. Maafkan aku yang hampir jatuh dalam putus asa. Seolah KAU telah tak peduli lagi. Maafkan aku yang tak sanggup lagi melihat uluran kepedulianMU. Maafkan aku yang lupa pada rahmatMU yang tak putus-putus. Maafkan aku yang dibutakan oleh rintihan air mataku sendiri. Maafkan lidahku yang larut dalam keluh kesah dan lupa menyebut KebesaranMU. Aku telah dibodohi sejuta keluh dan tidak melihat karunia dan pemberianMU. Maafkan aku yang lupa berterima kasih.

Tuhanku yang Maha Pengasih.
kasihanilah jiwa lemah ini. Biar kulihat lagi cahayaMU.

Selasa, 09 Oktober 2007

Luka

“Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari.
Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu.
“Nanti kena infeksi….”
“Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.”
“Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.”
Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….”

***

Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain.

Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menanganinya dengan baik. Jangan pernah, jika kita tidak bermaksud menyembuhkan. Lebih-lebih, jika hanya untuk tahu seberapa dalam ia terluka. Jangan, karena hanya akan memperparah luka tersebut.

***
Nggak usah ke dokter dong, Bu. Nanti kan lukanya sembuh juga, asalkan tidak dikorek.” Anak itu nyeletuk lagi setelah dijanjikan cepat sembuh asalkan lukanya tidak dikorek.
Ibunya diam sejenak. Mulai kehabisan kata-kata dan kehabisan kesabaran. Tapi tampaknya ia seorang ibu yang baik. Dia menghela nafas lalu menjawab lagi.
“Iya…ada luka yang bisa sembuh nggak pake dokter. Dibiarin juga, nanti akan sembuh sendiri. Tapi bisa lamaaa…..sekali,” jawabnya kemudian.
Ibunya menyebut kata ‘lama’ panjang banget. Kepalanya sambil mutar-mutar. Sang anak tergelak. Orang-orang yang ada di dekat mereka ikut tersenyum. Aku pun tak bisa menahan senyum geli.
“Nah…ada juga luka yang mesti diobati ke dokter. Kalau nggak, bisa infeksi. Kalo infeksi, bisa … bonyok.”
“Bonyok…!?” anaknya membelalak. Sang Ibu tampak menyesal mengeluarkan kata itu. Tapi ia tidak kepikiran kata yang lain lagi untuk mengganti kata itu.
Anak itu terdiam lalu mengelus-elus lukanya dan meniupnya dengan lembut. “Jangan bonyok, ya ….”

Aku tergelak. Aku benar-benar tak bisa menahan tawa lagi. Aku jadi lupa pada luka di kakiku akibat keserempet motor tadi. Sejurus kemudian, aku meringis lagi. Perih.
Aku kembali terkesan ketika anak itu mulai mengeluh lagi,”Tapi gatal…, Bu,” dan ibu itu kembali menjawab dengan lembut,” Tahan ya, nak. Waktu sakit aja kamu bisa tahan, apalagi sekarang cuman gatal, kan?”
***
Bener banget! Semua orang pada dasarnya telah diberi kekuatan untuk bisa menahan luka yang dititipkan padanya. Allah telah menakar kekuatan setiap manusiaNYA sebelum DIA memberi cobaan. DIA Maha Tahu dan hitunganNYA tidak akan salah.

Tapi kalo dikorek-korek…mmm…ingat, semut aja bisa menggigit lho….tanpa pandang sebesar apa yang digigitnya....

***
“Thamrin!” Seorang suster muncul di pintu memanggil namaku.
“Ya, Sus!” Aku menjawab lalu berdiri menyeret langkah tertatih masuk ke ruang dokter. Saat melewati anak kecil itu, aku menegakkan badanku. Memang lukaku jauh lebih parah dari yang diderita anak itu. Tapi aku lebih besar dan lebih berpengalaman darinya.
Aku tersenyum saat melewatinya, berusaha menunjukkan bahwa aku orang yang pantas untuk luka yang kuderita sekarang.

***

Minggu, 07 Oktober 2007

Meminta Sang Dewi.

Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu
yang slalu bersinar di langit...

Di langit bulan benderang
cahyanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu
untuk menerangi tidurku yang lelap
di malam gelap


Setiap mendengar lagu ini, hati saya langsung ... mmm saya tidak tahu kata yang tepat,
tapi baiklah saya akan coba menggambarkannya. Ketika mendengarnya, saya merasa ada
yang perih (ooh..., hehe) tidak tahu bagian yang mana dan tanpa tahu untuk alasan apa,
berkoordinasi dengan mata yang berkedip-kedip (bukan kelilipan meski alasan itu sering dipakai orang untuk memuaskan rasa malunya....)

Dari lagu ini tergambar permintaan seorang anak kecil, tidak dengan merengek, bukan memelas ataupun memaksa. Walaupun seorang anak kecil sah-sah saja melakukan hal-hal tersebut jika keinginannya tidak dipenuhi. tetapi ia hanya meminta, hanya meminta (sekali lagi!). Meski pada lagu itu kalimat permintaan-nya, ambilkan bulan, Bu diulang hingga dua kali pada awal lagu dan diulangi lagi di bait terakhir, tetep aja tidak ada kesan memaksa karena nada pada kalimat pertama dan kedua sama (tidak meninggi dan tidak ada tekanan). Biasanya anak kecil akan mengembel-embeli rengekannya dengan..Tidak mau!Tidak mau! Pokoknya mau bulan! Ambilkan bulan dong, Bu! Tetapi dalam lagu ini kita tidak mendapati hal seperti itu, kan? (hehe….)

Di langit bulan benderang, cahayanya sampai ke bintang. kalimat tersebut menggambarkan betapa jauh hal yang diinginkan oleh anak itu untuk jadi kenyataan, dan ia sangat memahami hal tersebut. Itu sebabnya ia tidak memaksakan kehendak untuk menjadikannya nyata.

Meski lagu ini untuk anak kecil, kenyataannya lagu ini dibuat oleh orang yang sudah besar/berumur (saya tidak menggunakan kata dewasa, sebab ada perbedaan besar antara berumur dan dewasa. sedang kata yang sebelumnya saya pakai untuk dibandingkan adalah 'anak kecil'). ‘Orang besar’ biasanya lebih punya banyak kata-kata untuk menyamarkan keinginan-keinginannya. Tapi pada lagu ini, permintaannya akan kehadiran sang bulan langsung aja diucapin, ‘Ambilkan bulan’. (Padahal lagu ini dibuat ketika trend lagu-lagu berlirik jujur dan to the point belum menjamur seperti sekarang). Ini adalah suatu bentuk pengakuan dari kaum ‘orang besar’ bahwa kepolosan dan kejujuran tetap monopoli ‘kaum anak kecil’, dan satu fakta lagi yang tidak bisa dibantah, yaitu kaum ‘orang besar’ adalah mereka-mereka yang dulunya anggota ‘kaum anak kecil’. Dalam lubuk hati setiap orang selalu ada keinginan untuk kembali menjadi anggota ‘kaum anak kecil’ meski itu tak mungkin karena terbentur syarat umur keanggotaan. Ini disebabkan adanya anggapan bahwa saat menjadi anggota ‘kaum anak kecil’ adalah saat-saat yang indah, saat yang tidak mungkin berulang. Padahal tidak ada waktu yang berulang. Berarti, setiap detik haruslah kita anggap indah.

Trus, kenapa harus bulan? Apakah lagu ini dinyanyikan seorang anak yang sedang memandangi bulan dari jendela kamarnya sebelum tidur? Sepertinya begitu. Saya sendiri melihat bulan sebagai senja sepanjang malam. Jika senja hanya menggoreskan warna indahnya di satu sisi langit aja maka purnama adalah senja yang mewarnai se-hampar langit, sepanjang malam. Jika kita harus mencari daerah-daerah yang dapat membuat kita melihat langit sisi barat tidak terhalang oleh apapun seperti laut, atau hamparan sawah, maka cahaya warna sang bulan bisa kita nikmati di mana saja, di pinggir jalan, di atap rumah, atau di balik jendela kamar, di mana pun sepanjang malam. Jadi, adakah makhluk bumi yang tidak mengagumi keindahan sang dewi malam ini? (Anak kecil aja tau mana barang yang bagus dipandangi…hehe). Bahkan, srigala pada saat purnama, melolong meneriaki sang dewi, entah mengagumi. entah memaki.

Ambilkan bulan, Bu. Anak ini meminta ibunya untuk mengambilkannya bulan. Kenapa bukan Ambilkan bulan, Pak? Kenapa memintanya pada ibu dan bukan pada ayahnya? Ini pertanyaan yang agak susah dicari jawabannya. Ambilkan bulan, Bu merupakan permintaan rahasia seorang anak, dibisikkan ketika hendak tidur dimana sang ibu mulai menyelimuti tubuh anaknya dan memberikan kecup selamat malam. Seseorang lebih bisa berbagi rahasia pada orang yang lebih sering bersamanya, orang yang pertama kali dilihatnya saat muncul di dunia (bidan dong! Hehe…maksudnya ibu lho....); nb: pada sebagian kasus mungkin tidak seperti ini.

Ambilkan bulan, Bu. Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap. Bukankah itu sudah tugasnya sang bulan? Untuk menerangi gelapnya malam? Tidak perlu ada di samping kita, kan? jika ingin merasakan terangnya?

Kalau yang didengar lagu versinya Tasya…bener-bener keren!! Musik sendunya berpadu dengan suara polos Tasya yang lembut banget. Padu banget! Kita bakalan mendengar Tasya seolah tidak bernyanyi tetapi bercerita kepada kita tentang keinginannya. Di bagian akhir, Tasya mengulangi lagi permintaannya tapi dengan efek fade out menggambarkan bahwa dia sama sekali tidak memaksa, seolah dia ingin berucap, tidak apa-apa deh….

Tamalanrea, 28 sept 07

Rabu, 26 September 2007

CERPEN

MENGEJAR MIMPI

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang.
“Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.
Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak dua bulan lalu sedang pengeluaranku malah bertambah. Entah kesulitan apa yang dialami keluargaku sampai jatahku pun ikut dipotong. Aku tidak berani melayangkan surat keluhan. Jadinya, aku kebingungan sendiri di sini.
***
Seperti lagunya Franky S, hari ini terik seperti membakar tapak kakiku. Aku memandangi kakiku. Tapal sepatuku tampaknya mulai menipis. Tapi, sudahlah…aku tidak begitu memusingkannya. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting daripada membeli sepatu baru.
Aku memilih jalan kaki, walau di tengah terik begini. Jika naik becak atau ojek, setidaknya butuh tiga ribu-an. Aku tersenyum menertawai diri sendiri. Saking kerenya, untuk diri sendiri pun aku perhitungan banget.
Aku mempercepat langkahku. Dari jauh tampak Asri duduk di teras. Syukurlah dia ada di rumah. Perjalananku tidak sia-sia. Aku bela-belain ke rumahnya demi tugas dari dosen yang mesti diketik.
“Eh, Sam …masuk,” tegurnya begitu aku tiba di depan pagar.
Aku tersenyum. Dalam hati, aku sibuk mencari kata yang pas. Aku merasa tidak enak, hampir tiap hari aku kesini untuk mengetik.
“Ada tugas lagi..?” Tanya Asri akhirnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.
Asri mengajakku masuk ke kamarnya. Dengan ragu, kuikuti dari belakang. Asri lalu meninggalkanku setelah aku mulai sibuk di depan komputer.
“Mau minum, Sam?” Ia muncul lagi di depan pintu kamar. Kerongkonganku yang sejak tadi kering memaksaku mengangguk. Tak berapa lama, Asri kembali dengan dua gelas minuman dinginnya.
Setelah ketikanku selesai, kami duduk di teras menikmati kue kecil bikinan mamanya Asri.
“Terima kasih, Tante,” senyumku malu-malu menjawab tawaran mamanya Asri saat memintaku mencicipi kue.
Sementara Asri dengan seru bercerita tentang kesibukan barunya sebagai anggota multilevel marketing berikut janji-janji surga yang nantinya akan didapat, aku malah sibuk memikirkan cara mencari tambahan uang. Jika hanya bergantung dari kiriman orang tua rasanya tidak mungkin lagi.
“Menurutmu pekerjaan apa yang cocok buatku,” tanyaku memotong ceritanya.
“Tentu saja bukan MLM,” sambungku cepat sebelum Asri sempat menjawab. Ia sudah sering menawariku bergabung tapi berkali-kali kutolak. Bisnis seperti itu tidak cocok denganku. Aku tidak punya bakat merayu orang. Lagian, bisnis MLM butuh modal yang tidak sedikit.
Asri pun mulai membeberkan segala jenis pekerjaan yang memungkinkan dilakukan sambil kuliah, mulai dari penjaga toko part time hingga jadi guru private. Dengan berbagai dalih, semua tak mengundang minatku. Jadi penjaga toko? Bagaimana dengan kuliahku? Aku takut pemilik toko nantinya menuntut waktu yang lebih banyak. Guru private? Yang benar saja.... Belajar untuk kuliahku saja, aku sudah kewalahan. Apalagi jika mesti mengajar anaknya orang. Kayaknya aku nggak bakalan sanggup memikul tanggung jawab sebesar itu.
Hingga menjelang sore saat bersiap pulang, pembicaraan kami tak menghasilkan satu kesimpulan untuk membantuku.
***
Deringan weker memaksaku bangun. Aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudhu, kulirik weker yang menunjuk angka 6 dan 12.
“Telat lagi…,” gumamku.
Sehabis sembahyang, aku terdiam lama di atas sajadah.
“H-minus dua...,” lagi-lagi aku bergumam. Aku berharap lusa kiriman uangku sudah ada
Biasanya di hari minggu pagi, anak-anak seisi rumah kost-an ini rame-rame jalan menikmati udara pagi. Tapi kali ini aku malas ikut. Semalaman begadang membuat seluruh badanku lemas. Aku kembali berbaring, setelah mengunci kamar.
Pikiranku menerawang. Kutatap langit-pangit kamar yang catnya mulai usang. Kuliah memang impianku saat masih di SMU dulu. Saat itu, tak terpikirkan kesulitan-kesulitan yang bakal aku hadapi seperti sekarang.
Pandanganku beralih pada sebarisan semut yang panjang menuju kaleng biskuit tempatku menyimpan beras. Aku segera bangkit meraih sapu yang bersandar di dekat pintu.
Aku tidak jadi membongkar barisan rapi itu. Mataku tertumbuk pada seekor semut kecil yang susah payah menyeret sebutir beras. Seekor yang lain menggigit ujung beras yang satunya. Mungkin bermaksud membantu atau merebut butir beras itu, entah. Semut kecil itu kemudian berhasil mengangkat sendiri butir beras yang dua kali ukuran tubuhnya.
Sesaat aku tertegun. Pandanganku mengikuti semut kecil itu hingga keluar kamar. Seekor lagi berhenti dan menggerakkan kaki depannya di hadapanku seolah berkata,”Apa kau tak punya kerjaan lain selain mengamati kami!” Aku tersenyum sendiri. Kuputuskan menghabiskan pagi ini dengan membersihkan kamar.
Menjelang siang, pekerjaanku selesai. Kuhapus peluh di dahiku dengan punggung tangan. Barisan semut itu sudah tidak ada lagi, tapi bayangan semut kecil tadi belum hilang dari pikiranku.
Dibandingkan denganku, semut memang tidak ada apa-apanya. Tapi semut kecil itu sudah mengalahkanku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu dengan mengeluh dan mengeluh, tanpa melakukan apapun.
***
“Asri!” panggilku mengejar langkahnya yang terburu-buru.
“Hei! Tugas kalkulus-mu sudah selesai, Sam?” tanyanya begitu aku tiba di sampingnya. Aku mengangguk.
“Aku nyontek, dong....aku nggak sempat selesaikan. Kemarin aku mesti mengambil titipan barang dan mengantarkannya,” lanjutnya.
“Ini....” Aku menyerahkan beberapa lembar kertas tugasku yang kususun rapi semalam.
Aku prihatin dengan kesibukan Asri akhir-akhir ini. Tugas kuliahnya banyak terbengkalai demi mengejar pesanan.
“Asri...aku pikir waktumu terlalu banyak kau jatahkan untuk kegiatanmu di luar. Sebagai teman, aku tidak ingin kuliahmu berantakan. Nanti kau bakal menyesal...,” ucapku menasehatinya saat istirahat.
Asri hanya tersenyum menanggapiku. Seperti biasa, dengan diplomasinya ia berkilah,” Yaa...namanya juga usaha, butuh sedikit pengorbanan.”
“Lagian, aku bisa mengandalkanmu, kan?” senyumnya menggodaku.
Aku ikut tersenyum. Aku rasa ia menyindirku. Selama ini ia telah banyak memberiku saran untuk jalan keluar masalahku, tapi aku masih menimbang ini dan itu. Aku malah pernah disebutnya pengecut karena terlalu banyak pertimbangan sebelum memulai apapun.
Pembicaraan kami terpotong, seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Entah siapa, mungkin pelanggan baru.
“Aku ke sana dulu. Nanti temani aku ke pak Arsyad, ya...?”
“Untuk apa ?” tanyaku. Ia tak menjawab. Asri tampak serius berbicara dengan orang itu. Aku lantas duduk di depan kelas menunggunya.
Aku berjalan cepat mengikuti irama langkah Asri di sampingku. Jarak kelas ke kantor pak Arsyad memang cukup jauh. Sejak tadi Asri hanya diam. Pertanyaanku pun tidak digubrisnya.
“Siang, Pak,” sapanya saat tiba di depan kantor.
“Siang,” balas pak Arsyad yang duduk di belakang meja, “Masuk!”
Asri melangkah masuk. Aku mengekor di belakangnya.
“Begini pak..., bapak pernah bilang butuh seorang laboran lagi untuk membantu pegawai Lab di sini,” ucap Asri.
Aku memandangnya tak mengerti. Asri mau jadi Laboran? Maruk amat nih anak. Apa kesibukan di MLM-nya belum cukup. Ditambah dengan kerja di Lab...itu sama saja bunuh diri!
“Kamu bersedia? Tanya pak Arsyad sambil melepas kacamatanya.
“Bukan saya Pak, tapi teman saya.” Asri menunjukku. Mataku membelalak ke arahnya, ia cuma nyengir. Sialan!
Kamu mau?” tanya pak Arsyad lagi, kali ini dengan memandangiku.
“Tapi....” Aku agak ragu.
“Dia mau koq, Pak,” Asri memotong bicaraku.
“Saya ndak nanya kamu,” tegur pak Arsyad yang membuat Asri cengengesan.
Aku melirik Asri yang menatapku tajam.
“Saya...bersedia, Pak,” jawabku pasrah.
“Oke, tugasmu tidak sulit tapi juga tidak gampang. Kamu mesti berada di Lab sebelum praktikum mulai hingga praktikum benar-benar selesai,” jelasnya. Aku mengangguk.
“Besok kamu kesini untuk pengenalan alat-alat,” lanjutnya.
“Soal gaji...kita bicarakan besok...,” ujar pak Arsyad saat kami pamitan.
“Kau gila!” teriakku pada Asri saat berada di luar.
“Kau kira tugas seperti ini mudah!? Kenapa tidak tanya aku dulu....” Aku mencengkram lengannya.
“Dan kau akan memikirkannya seribu kali. Bagaimana jika begini dan begitu. Lalu kau tidak akan mengambil kesempatan ini. Iya kan?” Aku terdiam dan melepas cengkramanku.
“Jangan dipikirkan lagi, ini kesempatan bagus....”
“Ya sudah...aku duluan,” ucapnya mempercepat langkah dan meninggalkanku. Dia tampak terburu-buru.
Aku hanya diam.. Terbayang kesibukanku nanti melayani di Lab di sela waktu kuliahku. Entah apa aku bisa menjalaninya.
“Thanks!” teriakku kemudian. Asri melambaikan tangan tanpa menoleh.
Aku menghentikan langkah. Di depanku melintas seekor semut kecil dengan bawaannya. Aku tersenyum dan membiarkannya lewat.
“Aku juga bisa...,” ucapku. Beberapa orang menoleh dan memandang heran ke arahku.
Aku tersadar. Kulanjutkan langkah menuju kelas.
#selesai#

CERPEN

INVISIBLE GIRL

Aku duduk di depan TV sambil memegang bukuku. Ini Rabu malam. Ada serial baru yang kutunggu ditayangkan. Serial ini bercerita tentang seorang adik yang menjadi bahan percobaan kakaknya dan membuatnya bisa menghilang dan tak terlihat orang lain. Menjadikannya seorang Invisibel Man. Aku menyukai kisah seperti ini.
Meski besok pagi ada kuliahnya Pak Danang dan wajib hukumnya belajar sebelum mengikuti kuliahnya. Tapi aku tidak begitu peduli. Aku baru beranjak setelah acaranya selesai. Aku lalu menuju ke meja belajarku. Bagaimanapun aku tak mau jadi bulan-bulanan Pak Danang besok.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani aktivitas di kampus dalam kesendirian. Aku tidak bisa akrab dengan siapa pun. Itu sebabnya aku dinilai pendiam dan angkuh. Hal ini juga yang membuatku memilih tempat sepi untuk istirahat, seperti perpustakaan.
“Nia!” sebuah teriakan menghentikan langkahku saat akan memasuki perpustakaan. Ternyata Meta. Aku berbalik dan memberikan senyumku.
“Hai,” balasku Teman satu ini gencar mendekatiku dibanding teman sekelasku yang lain.
“Mau ke perpust? Aku ikut ya?” Tanpa menunggu jawabanku, dia menggandeng tanganku memasuki gedung perpustakaan. Aku agak risih diperlakukan seperti ini.
Meta termasuk orang yang beruntung. Ia cantik, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa pun. Semua orang mengenalnya. Mulai dari mahasiswa baru hingga dosen dan pegawai administrasi. Dibandingkan dengannya, aku tidak ada apa-apanya. Dia memiliki segalanya. Dia juga memiliki Sam….
“Mau cari buku apa?” Suara Meta membangunkanku dari lamunan.
“Tidak, aku kesini untuk istirahat.”
Dia beranjak menuju rak-rak buku dan mulai menelusuri judul-judul buku. Aku memperhatikan setiap langkahnya. Sesekali ia meraih satu buku dan dengan serius membuka lembaran halamannya. Aku tersenyum, pantas jika Sam menjatuhkan pilihan padanya.
Aku dan Sam kenal sejak SMU. Tentu saja aku punya banyak kenangan dengannya. Dan kenangan yang paling kusukai adalah saat kami pernah dekat atas dorongan teman-teman. Aku menyambutnya, meski aku tahu saat itu semua hanya pura-pura untuk membantu Sam memenangkan taruhannya.
Dan kami kembali dipertemukan di Universitas yang sama. Akulah yang mengenalkan Meta padanya. Dan tahu-tahu mereka sangat akrab dan aku kembali merasa tersisih.
“Ini buku bagus.” Suara Meta mengagetkanku lagi. Kulirik buku yang disodorkan padaku.
“Dasar bureng! Buku tebal begini dibilang menarik,” rutukku dalam hati. Bureng merupakan panggilan untuk seorang kutu buku. Dia pantas menyandang sebutan itu. Meski penampilannya tidak seperti kebanyakan yang digambarkan orang tentang seorang kutu buku. Meta tidak berkacamata dan sama sekali tidak norak.
“Gimana? Mau pinjam?” tawarnya. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Oke…kalo gitu, aku yang pinjam. Tapi aku titip di kartumu, ya? Kartuku tidak kubawa.”
Berjalan bersama Meta membuatku merasa tak terlihat oleh orang lain. Setiap orang yang berpapasan dengan kami menegurnya. Terkadang kami terhenti untuk ngobrol sebentar, maksudku dia yang mengobrol. Aku tidak pernah melibatkan diri dalam setiap pembicaraannya. Seperti saat ini, ia membuatku menunggu karena Pak Danang membicarakan sesuatu dengannya. Aku ikut menyimak. Pembicaraannya mengenai copy-an bahan kuliah atau semacamnya. Aku teringat si Invisible Man. Nasibku sama dengannya. Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Meta pun seperti lupa kalau aku ada.
***
Hari ini praktikum mulai berjalan lagi setelah terhenti karena libur. Aku berjalan tergesa menuju LAB. Sambil jalan, kuperiksa lagi kelengkapanku memastikan tidak ada alasan yang bisa membuat asisten Lab mengeleminasiku dan tidak mengikutkanku praktikum. Aku menoleh saat mendengar suara langkah terburu-buru seperti mengejarku. Ternyata Sam.
“Ada apa?” tanyaku begitu melihat raut mukanya cemas.
“Meta mana?” Senyumku kecut begitu mendengar nama yang disebutnya. Aku menggeleng. Wajahnya bertambah cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Kotak alatku dibawa olehnya,” ujarnya. Matanya mencari-cari ke arah jalan.
“Kau tidak menjemputnya?” Tanyaku. Sam menggeleng.
“Meta!” serunya tiba-tiba. Meta tergesa menghampiri kami.
“Sam, kotaknya masih di rumah. Kemarin aku menjenguk nenek dan menginap di sana, jadi….”
“Cepat! Kita ke rumahmu,” Sam memotong setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menarik tangan Meta dan berlalu dari hadapanku. Aku melanjutkan jalanku menuju Lab. Mudah-mudahan mereka tidak terlambat, gumamku.
Di dalam Lab aku tidak bisa berkonsentrasi. Kuarahkan pandanganku ke meja sebelah. Sam dan Meta belum kembali. Kutepis bayangan-bayangan buruk yang melintas. Hingga selesai praktikum mereka tidak muncul-muncul juga.
Aku keluar mencari mereka. Di depan Lab nampak teman-teman yang berkumpul membicarakan sesuatu dengan serius. Rasa ingin tahuku memaksaku mendekat. Aku tersentak. Sam dan Meta kecelakaan! Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan mereka? Susul menyusul pertanyaanku keluar. Mereka memandangiku seolah memastikan apa aku benar-benar khawatir. Tentu sajas aku khawatir, kesalku dalam hati. Merekalah yang dekat denganku selama satu semester ini. Apalagi ini menyangkut Sam.
Bersama yang lain aku menyusuri koridor rumah sakit. Suara langkah kami memenuhi udara koridor yang sebelumnya sepi. Dari jauh tampak Sam duduk di depan ruang ICU. Sam berdiri begitu melihat kami menghampirinya. Tangannya dibalut perban dan tampak beberapa memar di wajahnya.
“Meta mana?” tanyaku begitu tiba di depannya. Ia diam. Sam mengarahkan pandanganku ke dalam ruang ICU. Aku meraih baju khusus untuk masuk ruangan. Meta terlihat tak berdaya dengan selang-selang kecil di tubuhnya. Dia tertidur atau pingsan? Entah, aku tak bisa membedakannya.
Sementara mereka bergantian masuk, aku duduk menemani Sam. Dia terlihat sangat kacau. Dari kedua matanya nampak olehku kelelahan dan kesedihan bercampur jadi satu.
“Kau sudah hubungi orang tuanya?” tanyaku pelan.
“Ayahnya tiba nanti sore dan ibunya ke apotik menebus obat,” paparnya. Pandangannya menerawang. Aku mengerti kesedihannya. Sam tinggal sendiri. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia kecil. Hidupnya dibiayai pamannya. Tapi karena kesibukannya, Sam hampir tidak pernah melihat pamannya. Ini bagian hidup Sam yang tidak diketahui Meta. Bagian yang tidak pernah dibaginya dengan siapapun. Cerita yang hanya ia kisahkan padaku saat kami bersama dulu.
Tapi sekarang semua telah berbeda. Sam tidak bercerita apapun lagi padaku. Aku pun tidak bisa berbuat banyak. Sekarang di matanya, aku bukan siapa-siapa. Sahabat pun bukan.
Kampus kurasakan semakin sepi tanpa kehadiran Meta. Tanpa sikapnya yang kadang menjengkelkan jika memksaku menemaninya ke satu tempat ditambah Sam yang jarang masuk kampus. Dia kebanyakan di rumah sakit. Aku pun lebih sering ke sana. Meta sudah dipindahkan ke bagian perawatan. Aku dan Sam lebih sering bersama sekarang. Ke apotik untuk menebus obat atau sekedar menemaninya ngobrol. Ada rasa bersalah yang merambat pelan di hatiku saat menikmati setiap kebersamaan dengannya. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku, betapa aku senang dengan keadaan ini.
“Masih ingat yang ini ?” tanya Sam saat kami duduk berdua di koridor rumah sakit sambil mengacungkan harmonikanya ke arahku. Aku tersenyum mengangguk. Bagaimana aku bisa lupa, dulu benda ini selalu menemani kami. Sam sering meniupkan nada-nada lagu dengan harmonikanya.
“Ingat lagu ini….?” Aku mulai bersenandung. Sam mengiringi dengan harmonikanya. Untuk sesaat kami lupa berada dimana. Sampai seorang suster menepuk pundak Sam yang seketika menghentikan permainannya. Begitu susternya pergi, aku dan Sam tak bisa menahan tawa.
Kami terdiam lama. Kuperhatikan Sam yang menimang-nimang harmonikanya sambil memandangi tembok-tembok rumah sakit. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku berharap dia mengenang apa yang pernah kami lalui dulu seperti yang kulakukan saat ini. Tiba-tiba Sam tertawa geli. Muka bingung yang kuperlihatkan tidak juga menghentikan tawanya.
“Kenapa?”
“Aku ingat dulu ketika memintamu pura-pura jadi pacarku supaya menang taruhan…,” kenangnya di sela tawa. Aku ikut tertawa. Hambar.
“Nia….” Sam menoleh ke arahku. Ia menatapku seperti mencari sesuatu. Untuk sesaat aku terpaku.
“Saat itu….”
“Lucu… ya,” potongku melepaskan diri dari tatapannya lalu menyuguhkan senyumku yang terpaksa.
“Saat itu…kau tidak berura-pura, kan?” tatapannya belum juga melepaskanku. Aku tak bisa menghindar lagi.
“Kau…mencintaiku…?” Aku mengangguk lantas merutuki kebodohanku dalam hati.
“Sekarang…kau masih…?” Sam menatapku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku melihat harapan di matanya tapi pikiranku kutepis jauh-jauh.
“Harusnya aku bilang dari dulu….” Dia terdiam. Aku menunggu lalu lanjutnya,”Saat itu aku juga menyimpan harapan…." Sam kembali diam membiarkanku bergulat dengan pikiranku.
“Tapi sekarang semua telah berubah. Mungkin kau sudah mencintai orang lain,” cetusnya kemudian dengan senyum dipaksakan.
“Kau yang mencintai orang lain,” bisik hatiku. Dia sedang bimbang, itu yang kulihat dari matanya. Ia hanya dipenuhi kenangan-kenangan kami dulu. Kesepian dan kesendirian yang sama yang dialaminya dulu saat aku masuk di kehidupannya yang membuatnya bertingkah seperti ini, aku menghujani hatiku dengan pikiran-pikiran logis. Hanya satu orang yang memiliki hatinya. Yaitu Meta dan ia sekarang terbaring di dalam sana. Aku tidak mungkin mengambil keuntungan dari keadaan ini.
“Nia….” Sam memanggilku lirih.
“Meta….” Aku memotong sebelum ia melanjutkan kalimatnya tapi aku sendiri tak bisa melanjutkan bicaraku.
“Meta…dia orang yang kau cintai,” ucapku terbata.
“Tapi….”
Aku berdiri meninggalkannya. Kutepis keinginan agar dia mengejarku.
“Aku membutuhkanmu….” Sam meraih pundakku dari belakang. Sebuah erangan dari dalam kamar menghentikan kami. Sam menghambur masuk diikuti olehku.
“Sam….” Tangan Meta menggapai. Sam meraihnya.
“Aku di sini,” bisiknya.
Aku melangkah meninggalkan ruangan. Dia orang yang kau butuhkan, Sam. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi kau tidak akan sendiri, Meta yang akan menemanimu.
Hari ini Meta melengkapi kemenangannya. Ah, tidak, aku yang melengkapi kekalahanku. Tapi apa bedanya. Lagipula waktu akan terus berjalan tanpa peduli hari ini hatiku patah.

***

CERPEN

NYANYIAN PUNGGUK

I never found the words to say
You’re the one I think about each day
And I know no matter where life takes me too
A part of me will always be with you…


Sayup-sayup suara S club7 memenuhi udara di kamar Tina. Pikirannya menerawang. Keputusan ayahnya untuk pindah ke kota ini sempat tidak di setujuinya, meski pada akhirnya dia menurut juga.
Kepindahannya ke kota ini harusnya membuat ia senang. Tapi ia takut, takut menumbuhkan harapan yang seharusnya sudah mati.
Seperti hari kemarin, Tina hanya menghabiskan waktu di kamar. Sekolahnya masih libur. Lagipula, ia tak ingin membebani pikirannya dengan masalah perkenalannya sebagai siswa baru atau hal lainnya.
Tina memejamkan mata beberapa saat. Sosoknya muncul lagi, meski Tina susah payah menghapusnya.
“Iman….” Sebuah nama terucap lirih di bibirnya.
Iman dikenalnya dari chating. Tina menyukai puisi-puisi yang selalu diselipkan Iman tiap kali chating. Mereka lalu janjian ketemu dan sering menghabiskan waktu berdua. Tak pernah terlintas, kebersamaan mereka hanya seumur jagung.
Tina sering mendengar cerita keluarga Iman yang broken. Bahkan Iman sering mengeluh tidak tahan tinggal bersama orang tuanya yang saban hari bertengkar. Tapi ia tak pernah menduga Iman akan pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untuknya. Ia lalu berusaha bicara dengan keluarganya, tapi yang ditemuinya hanyalah sepasang orang tua yang asyik bertengkar mulut.
Seminggu, dua minggu, Tina masih berharap Iman akan menghubunginya. Tapi ternyata tidak. Hingga pada hari itu, sepulang sekolah, Tina mendapati selembar surat di atas meja belajarnya. Perasaannya tak menentu setelah ia melihat nama pengirimnya.

Aku minta maaf. Jangan menungguku, aku tidak akan pernah kembali.Maaf telah melibatkanmu dalam cerita hidupku.
Iman


Iman tak menulis lengkap alamatnya. Hanya kotanya.
Makassar? Kenapa dia bisa sampai sejauh itu? Berbagai pertanyaan membayang saat itu, dan masih membekas hingga sekarang.
Berada di kota yang sama, membuatnya makin sedih. Sedikit demi sedikit Tina mencoba melupakannya. Meski terkadang, ia masih celingukan. Memandangi wajah tiap orang saat berada di Mall atau di jalan. Berharap wajah Iman akan ditemuinya.
***
Suara riuh terdengar dari luar. Tina melewatkan waktu istirahatnya dalam kelas. Sejak tadi, Leni, teman sebangkunya, gencar minta ditemani ke kantin. Tapi ia malas bergerak hari ini.
Ia kemudian menutup Harry Potter yang sedari tadi dibacanya. Tina menyandarkan punggungnya. Ia menoleh ke sudut ruangan setelah menyadari dirinya tidak sendiri.
Tina mengamati cowok yang sedari tadi sibuk dengan bacaannya juga. Ia tidak bergeming dari posisinya. Namanya Anto. Dibandingkan dirinya, Anto lebih pendiam dan tidak bergaul dengan siapapun. Tina belum pernah melihatnya bicara akrab dengan seseorang di sekolah ini.
Tina berdiri dari duduknya. Ia memutuskan menyusul Leni ke kantin. Tina berjalan melewati anak itu, tapi sedikitpun ia tak mengalihkan pandangannya dari buku.
***
Hari-hari yang dilewatinya di sekolah membantunya melupakan kesedihannya. Tina mulai menyapa setiap orang dengan senyumnya. Seperti yang dilakukannya pagi ini. Kemudian matanya berhenti di satu bangku yang kosong. Ini sudah hari ketiga Anto tidak masuk tanpa surat pemberitahuan.
“Eh, kamu tahu nggak apa yang terjadi dengan anak itu?” bisiknya pada Leni. Leni mengikuti pandangannya ke arah bangku yang kosong. Leni tak menjawab, malah memandangnya heran.
“Kamu yang pertama menanyakannya,” ucapnya. Tina terdiam. Memang kelas ini tidak mempedulikannya. Dia hadir atau tidak, sama saja.
Bel istirahat berdering. Ajakan Leni ke kantin kembali ditolaknya. Leni berlalu dengan wajah cemberut.
“Lain kali … deh aku yang traktir,” begitu ucap Tina.
Ia punya rencana lain. Ia bergegas ke ruang Tata Usaha. Waktu istirahat tersisa hanya 15 menit.
Dengan mudah Tina memperoleh alamat Anto. Apalagi pak Darma, pegawai Tata Usaha ikut membantunya. Tina lalu menunjukkannya ke Leni.
“Ini alamat Anto. Kita ke rumahnya, yuk,” ajaknya.
“Hanya kita berdua?” Tanya Leni.
“Kau boleh ajak yang lain.”
Leni mengedarkan pandangannya ke kelas. Tampak masing-masing larut dengan kesibukannya. Ada yang ngobrol di sudut kelas, sebagian lain sibuk mengerjakan tugas yang mestinya dikerja di rumah. Leni menggeleng,”Kita pergi berdua saja.”
***
Di koridor Rumah Sakit tampak Tina dan Leni celingukan mencari nomor kamar yang didapatnya dari tetangga Anto. Dari tetangganya itu, mereka tahu akan kecelakaan yang menimpa ayah Anto.
Anto berdiri menyambut begitu melihat kedatangan temannya. Setelah berbasa-basi dengan ayahnya yang mulai membaik, Leni bertanya rinci kejadiannya pada Anto. Anto menjawab dengan kikuk. Ini pertama kalinya Leni mengajaknya bicara. Tina yang duduk di luar tersenyum melihat mereka berdua ngobrol.
Pandangan Tina beralih ke kamar sebelah yang gordennya setengah terbuka. Seseorang dari jendela mengamatinya. Orang itu membuang muka, saat mata mereka berpapasan. Tina berusaha mengenali wajah yang sesaat kemudian menghilang. Meski sesaat, mata itu seolah bercerita banyak kepadanya. “Aku kenal dia dimana ya…,” batin Tina bertanya-tanya.
***
Dengan bantuan tongkatnya, ia menyeret kakinya untuk tetap melangkah. Kaki kirinya lumpuh dan tumbuh tidak sempurna. Kecelakaan yang dialaminya saat kecil merenggut kesempurnaan langkahnya dan perlahan-lahan memupus kepercayaan dirinya.
Dia sudah sangat lelah hari ini. Ia kemudian duduk besandar di depan apotik, menunggu namanya dipanggil. Hari ini antriannya banyak.
Pikirannya berkelana. Dua bulan lebih, ia menunggui adiknya di sini. Kecelakaan yang menimpa adiknya di kota ini memaksanya pindah. Senyumnya sedih saat mengingat ia berbisik pada adiknya tadi, “Ibu kesini tapi hanya sebentar. Bapak juga.” Dia tidak memberi tahu, bapak dan ibunya bertengkar lagi saat mereka bertemu. Adiknya pasti sedih jika mendengarnya.
Ia memejamkan mata, pikirannya terganggu sosok wajah yang dikenalinya dari balik jendela tadi.
“Kenapa dia bisa ada di kota ini? Apa aku tak salah lihat?” galaunya.
Senyumya masih sama, gumamnya. Ia menunduk memandang kakinya, “Aku tak berhak mencintainya,” desisnya.

Tina mengamati dari kejauhan sambil memegang sebuah buku. Cowok itu tak sengaja menjatuhkan sebuah buku yang kini berada di tangannya. Tina berusaha mengejar saat melihat cowok itu beranjak, tapi ia keburu menghilang di tikungan.
Tina kembali ke ruang rawat dan mengamti jendela dari ruang sebelah. Berharap cowok tadi akan ditemuinya untuk mengembalikan bukunya.
Perhatiannya beralih ke buku itu. Seperti buku harian. Tina membuka halaman pertama. Hatinya berdetak lebih cepat saat mengenali sebait tulisan di sana.

Dengarkan pungguk ini bernyanyi, kau rembulan di langit malamku.
Takkan memintamu menemaniku di bumi. Tetaplah di atas sana
Bersama gemerlapnya bintang-bintang.


“Iman…,” desisnya. Nama itu muncul lagi. Dengan tak sabar dibukanya lembar demi lembar.

Aku kenal dengannya hari ini. Di dunia maya, tentunya. Sebab jika dia melihatku, dia akan membuang muka tanpa ingin tahu namaku. Seperti yang lain.
Dia menyukai puisiku. Itu yang dikatakannya. Aku mulai jatuh cinta. Tapi tak mungkin ia melihatku dengan keadaanku yang seperti ini.


Di lembar lain tertulis

Dia mendesak ingin bertemu. Ya, aku akan menemuinya hari ini, dengan wujud adikku.

Kening Tina berkerut, gelisah menyusup ke hatinya.

Aku tak bisa mengendalikan keadaan lagi. Iman makin jauh dari pantauanku, dan dia pun mulai jatuh cinta padanya.

Tulisan berikutnya membuat Tina membelalak kaget.

Iman harus belajar mencintai dengan caranya sendiri. Aku takkan membantunya membuat puisi lagi. Aku sendiri lelah dengan skenario ini. Dia mencintai Iman, bukan aku.

Tina berlari ke kamar sebelah. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong. Seorang suster menghampirinya.
“Kami ikut berduka. Jenazahnya baru saja dibawa, keluarganya?” Tina menggeleng lemah.
Suster menjawab semua pertanyaannya yang beruntun. Tina terpaku, Iman benar-benar telah pergi.
“Sebentar kakaknya akan ke sini memberesi barang. Ditunggu saja,” ujar suster itu.
“Tidak, aku cuma ingin menyerahkan ini…milik kakaknya”.
Tina berusaha menguasai diri. Langkahnya gontai menemui Leni dan Anto yang kebingungan mencarinya.
***
“Ini….” Anto menyodorkan selembar kertas terlipat. Tina memandangnya tak mengerti.
“Tetangga kamar di RS kemarin bertanya banyak tentang kamu. Dia menitip ini,” jelasnya.

Aku berdosa besar. Dulu akulah yang menulis surat untukmu dan bilang, Iman takkan pernah kembali. Dia memang takkan pernah kembali. Aku bersalah pada kalian. Maaf.
Tian


“Tian…Bastian permana…,” lirihnya mengingat nama yang tertulis di sampul buku kemarin.
##***##
SELESAI

MALU

Kemarin saat berada di depan kelas bersama teman-teman, seorang teman lama yang pernah sangat akrab lewat. Dengan berbekal alasan itulah, aku menegurnya dan mengucapkan salam.
Tapi saat itu ia memang tampak terburu-buru (aku tidak sedang berusaha menghibur diri…)sehingga tidak mendengarku (mungkin!) dan ia pun berlalu bagai seorang kafilah (saat itu, aku sama sekali tidak menggonggong!)
Aku malu sendiri dan berharap aku sendirian di tempat itu pada saat itu. Tapi jelas tidak mungkin! (di awal cerita kan sudah kuterangkan kalau aku bersama teman-teman dan kalau settingnya diubah-ubah, cerita ini terkesan cuma isapan jempol kan?). Jadilah aku bahan tertawaan di sana. Meski aku tahu, saat itu mereka hanya bercanda tapi diam-diam ada sedikit goresan dan hatiku sedikit mengomel (hanya sedikit…). Lalu mulai saat itu aku tidak respek lagi pada temanku itu dan berhati-hati jika ingin menegur orang (rugi dong kalo malunya berulang karena hal yang sama…). Tapi, salahnya aku mulai menjauhi semua (…sepertinya kekecewaanku berdampak parah). Akibatnya aku dinilai sombong. Aku pun menghindar dari tempat berkumpul (pokoknya…aku merasa yakin bisa melakukan semuanya sendiri)
Pada saat benar-benar sendiri itulah, kadang dari kejauhan aku mengintip tawa teman-temanku yang berkumpul (memang tidak enak sendiri…)lalu aku mulai flashback(..bahasa canggih..!) dan thinking kenapa aku bisa sampai sejauh ini.
“Ada kuliah?” tegur seseorang setelah memberikan senyumnya. Aku mengangguk (sedikit kaget…Ia teman yang kujadikan pemeran antagonis di cerita ini). Setelah menemaniku ngobrol sebentar ia pun berlalu (tapi kali ini bukan sebagai kafilah lagi…)
Aku malu sendiri (maluu…sekali…). Bagaimana tidak?! Selama hampir setahun (kena lu…saya bohongi, tidak sampai selama itu koq) saya menenggelamkan diri dalam kebodohan (gglek…gglek…gglek..).

Aku bercermin dan aku maluu.. sekalii! Aku sendiri tidak sedikit mengecewakan orang. Tapi baru kecewa sedikit, langsung ambil tindakan seolah menghukum orang-orang padahal nyatanya diri sendiri yang terhukum.
Ini namanya adil, orang yang meludah ke atas akan jatuh ke wajahnya sendiri (ini sih…gravitasi namanya…!)

Kamis, 13 September 2007

jangan tanyakan arti setetes pada samudera

jangan tanyakan arti setetes pada samudera
tapi bertanyalah pada gurun dibawah terik matahari

jangan bicarakan sesaat
ketika embun dan matahari mencoba bersahabat
ketika biru menjadi penguasa angkasa
dan angin menebar cinta

bicaralah pada senja

Bertanyalah pada laut
mengapa ia begitu setia menunggu

mks, august 14th 07
aku tidak pernah meletakkan percayaku di tangan dunia

jika matahari yang bercahaya dan bulan yang bertahta pun adalah fatamorgana
bagaimana mungkin terang menjadi abadi?

jika dunia sekedar panggung sandiwara
dan hidup tak lebih dari dialog dan peran
maka siapakah pemilik kebenaran sejati
selain Sang Sutradara?

aku tidak ingin hidup dengan denting denting yang tak kumengerti iramanya
maka kupilih mematikan hati
mengajaknya sunyi dari denyutnya

mks, 13th august 2007
suatu hari kau akan menumpukan berat itu
seperti kau gantungkan harapmu hari ini

suatu saat aku akan menjadi pilarmu
seperti saat ini aku berdiri begitu kokoh karenamu

suatu saat aku yang akan menuntun langkah tertatihmu
seperti kau saat ini berdiri di depanku
menggagahkan diri demi jalanku

suatu hari nanti,
akulah langit biru yang kau tatap hari ini

jangan menghitung waktu hingga saat itu tiba
lakukan saja seadanya
seperti aku yang akan menerima
apapun adanya.

tamalate, 02 des 06
sungguh sebuah perjalanan yang panjang
waktu yang merajut hatiku
seluas langit kini

masihkah biru tersisa
ketika bianglala mulai menjingga
dan awan membendung luapan kisah

aku telah begitu yakin
hari ini akan tiba
hujan yang turun
menghapus panas bertahun-tahun
maros, 13 Juli 2007
Aku berharap akan ada alasan yang lebih abadi
untuk kita bersama
selain cinta
Akan ada yang terus memaksaku mengingatmu
selain rindu
Ada indah yang terus bersembunyi
dan kita terus mencari

Aku berharap akan ada yang membuat kita terus hidup
dari sekedar nafas dan jantung yang berdetak

Andai pun sesaat itu lebih indah, aku berharap
ada yang lebih lama dari selama-lamanya.

mks, 12 agustus 2007

semut

Pernah melihat film seperti The bug’s life atau Antz?atau film sejenis yang berkisah bagaimana kehidupan semut? Yang menjawab pernah, pastilah paham betul sistem kehidupan makhluk kecil mengagumkan seperti yang diceritakan dalam film-film tersebut. Yang menjawab belum pun, sedikit banyak tahulah bagaimana hidup semut.

Mereka memang makhluk mengagumkan, bukan hanya kehidupan sosial mereka yang jauh lebih manusiawi daripada manusia sendiri. Sementara notabenenya ‘sosial’ adalah predikat paten milik manusia.

Saya sering melihat semut-semut yang berbaris, berjalan beriring. Tidak ada yang saling menyalip, tanpa saling mendahului. Jika berpapasan, mereka saling menyapa dan melakukan toss dengan saling menyentuhkan antena atau kedua kaki depan mereka. Semuanya begitu teratur, rapi, menunggu gilirannya ‘berjalan’. Jika ada yang tiba-tiba terhenti, mungkin karena sakit perut, atau tiba-tiba pusing di tengah jalan, salah satu, bahkan lebih, dari mereka akan berhenti. Barisan di belakangnya ikut berhenti. Sambil mengangguk-anggukkan kepala dan menggerakkan antena serta kedua ‘tangan’nya. Mereka seolah bertanya,”Ada apa?” atau “Are you OK?”

Sungguh jauh berbeda jika pemandangannya kita alihkan ke arah jalan-jalan yang dipenuhi manusia-manusia dengan kendaraannya masing-masing, saling berpacu berusaha menjadi yang tercepat, menjadi yang paling duluan sampai di tujuan. Jika tiba-tiba iring-iringan kendaraan itu terhenti karena sesuatu hal apalagi karena ada yang ‘celaka’ terjatuh dari tumpangannya maka mulut-mulut mereka mengeluarkan bermacam-macam suara. Mulai dari keluhan, umpatan, bahkan ada yang mengutuk karena akan mengulur waktu perjalanan mereka untuk sampai di tujuan beberapa menit. Beberapa menit! Mereka bahkan tidak sudi kehilangan beberapa menit untuk sekedar singgah atau sekedar bertanya,”Ada apa?” Beberapa dari mereka menurunkan kaca, melongok untuk melihat apa yang terjadi lalu menutup kembali kaca sambil terus membunyikan klakson.

Soal kedisiplinan, semut jagonya. Lihat saja bagaimana mereka selalu berbaris, berjalan, mengangkut. Semua bekerja sesuai tugas tanpa ada keluhan ataupun protes. Semuanya tepat waktu, tak ada yang duduk-duduk saja berleha-leha sementara yang lainnya bekerja keras. Mereka begitu patuh pada peraturan-peraturan yang telah ada jauh sebelum mereka ada. Mereka tidak perlu membuat kesepakatan agar menaati peraturan. Mereka tidak memerlukan rapat-rapat untuk membuat suatu peraturan yang memungkinkan diterima berbagai pihak. Peraturan tersebut tidak perlu dirubah, direvisi, ataupun direshuffle.

Dalam film The bug’s life diperlihatkan, dengan rekayasa tentunya, bagaimana semut-semut itu begitu lahir telah ditentukan tugas dan posisinya masing-masing. Ada yang tertakdir menjadi pekerja ataupun prajurit selama umur hidupnya, sedangkan betinanya menjadi calon-calon ratu yang bertanggung jawab terhadap regenerasi semut. Pada film itu, penentuan tugas tersebut berdasarkan ukuran dan kekuatan fisik. Lucunya, seperti kebanyakan manusia, ada seorang (e … seekor) semut, merasa tidak mendapat tugas sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Setiap saat ia berusaha menunjukkan bahwa tugas yang dimilikinya seharusnya bukan semut pekerja tetapi semut prajurit, meski dengan fisik yang lebih pantas sebagai pekerja. Selanjutnya, diceritakan perjuangan semut tersebut untuk medapat pengakuan dari kaumnya (mereka menyebutnya koloni).
Pada akhirnya, ia berhasil melaksanakan sebuah tugas penting dan menyelamatkan seluruh koloni. Ia pun mendapat kehormatan sebagai pahlawan koloni tersebut. Bagaimana akhirnya? Apa semut pahlawan tersebut serta merta naik pangkat dari semut pekerja menjadi semut prajurit?
Dia mungkin berhasil menjadi pahlawan yang dipuja-puja seluruh koloni tetapi ia tetaplah semut dengan tugasnya sebagai pekerja, mengumpulkan makanan untuk seluruh koloni semutnya. Suatu tugas yang sama hebatnya bagi semut prajurit maupun semut betina.

Terkadang kita lupa apa peran kita di dunia ini dan untuk apa kita berada di tempat kita sekarang.
Terkadang kita menganggap rendah posisi kita sekarang lalu melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang sebenarnya bukan untuk kita.
Terkadang kita menganggap telah berada di tempat tertinggi lalu dengan mendongak kita pandangi mereka-mereka yang kita anggap di bawah kita.
Terkadang…

Malu aku malu pada semut merah, yang berbaris di dinding…


Maros, 14 februari 2007

REINKARNASI KEN AROK

setiap hari Ken Arok bereinkarnasi
kemarin menjadi birokrat yang menelan kawan sendiri
lain hari beraksi sebagai pengacara hipokrit, merebut palu hakim

hari ini Ken Arok kembali hadir,
bukan dengan sebilah kerisnya, merebut Ken Dedes dan tahta singosari
tetapi dengan seragam dan pentungannya
menghisap darah rakyat, menampungnya di tangki-tangki besar

para ken arok
terus terlahir dan menikam
yang ditikamnya ibu pertiwi

mungkin besok Ken Arok lahir sebagai raja
menikam rakyat dari belakang

GEMURUHKU

Pada laut tenang, gemuruh ombaklah benciku
Pada semilir angin, badai topanlah amarahku
Pada langit biru, titik hujanlah tangisanku
Pada diamnya gunung tinggi, gelegarlah teriakan dendamku

Dan pada saatnya kugetarkan bumi
Reruntuhanlah pertanda kesalku

Pada sahabatku Angin
Kau datangkanlah badai hujan, tinggikan ombak di lautan
Suarakan letusan gunung
Biarkan mengisi seluruh ruang udara di bumi

Sebab selain diam, aku tak punya daya
setiap detik hidupku adalah keajaibanmu
seperti langit malam yang kau telah jadikan misteri

gelap adalah benteng untukku bersembunyi
seperti hening yang mendiamkan teriakanteriakan lukaku
seperti sunyi kau jadikan sayap bagi jiwaku

meski surya untukku adalah semburat harap darimu
seperti percik apimu membelah hamparan langit gelap
seperti pagi tanpa awan tanpa hitam

mimpi bagiku adalah karuniamu
serupa berlari menghirup hamparan ilalang
kau biarkan jiwaku melayang di langit tenang tanpa deru

dan cinta untukku adalah bahasamu
mengetuk hati dalam hening
menyapa setiap detak kalbu
hidupku adalah goresanmu
cerita yang kau indahkan untuk kujalani
perjalanan yang terangkai
sempurna indahnya hingga akhir




Bumi Allah, Muharram, 1426 H

Rabu, 12 September 2007

Bintang biru

Setiap bintang memiliki cahaya yang dipancarkannya dengan warna tersendiri. Perbedaan warna pada bintang, salah satunya, disebabkan oleh perbedaan suhu bintang tersebut. Misalnya, bintang yang berwarna kuning bersuhu lebih tinggi daripada bintang yang berwarna merah.

Matahari, salah satu bintang yang menjadi sumber energi bumi merupakan bintang yang berwarna kuning. Bintang lain yang juga berwarna kuning adalah Capella pad rasi Auriga. Sedangkan bintang yang berwarna merah adalah Antares pada rasi scorpion.

Selain kuning dan merah, terdapat bintang yang lebih panas dari matahari yaitu bintang yang berwarna putih seperti bintang Sirius pada rasi Canis Mayor dan bintang Vega pada rasi Lyra.

Bintang yang paling paling panas berwarna kebiru-biruan seperti bintang Spica pada rasi virgo.

(dikutip dari ilmu pengetahuan bumi dan antariksa,Moh.Ma’mur Tanudidjaja)
TEMAN adalah ….
Saya sudah lama ingin menulis sebuah daftar yang berisi semua nama teman-teman yang selama ini saya kenal dan mengenal saya. Mulai dari yang sangat dekat hingga yang tidak begitu dekat. Kemudian saya membeli buku alamat untuk mengisinya dengan nama-nama disertai alamat teman-teman saya tersebut. Tetapi saya kemudian sadar lalu menertawai diri saya sendiri. Buku tersebut tebalnya lebih seratus halaman dan sampai saat ini hanya sampai terisi dua setengah halaman saja. Yah, bisa di bilang saya termasuk orang yang miskin jumlah teman tetapi saya tidak pernah merasa miskin dalam persahabatan, kenapa? Karena satu atau dua teman yang bersama saya selama ini telah banyak memberi warna-warni dalam hidup saya, telah banyak memperkaya jiwa saya. Saya tidak pernah kekurangan bantuan dan pertolongan. Melalui mereka (yang jumlahnya tidak banyak itu) ALLAH telah memberi saya jauh lebih banyak dari mereka yang memiliki sangat banyak nama-nama teman dan relasi.
Tetapi saya tetap ingin menulis mereka, sekedar sebagai pengingat. Karena diantara teman-teman saya itu telah banyak yang jauh dan tidak pernah lagi bisa saya temui dikarenakan kondisi sehingga menjadikan kami berbeda dimensi ruang dan waktu. Saya takut menjadi lupa dan kehilangan mereka, lalu saya memutuskan untuk menulis sendiri, bukan nama tetapi hal yang membuat saya selalu ingat kepada mereka, satu persatu. Lalu bermunculanlah di kepala saya uraian-uraian mengenai apa itu teman versi saya berdasarkan karakter mereka dan apa yang telah saya peroleh dari teman-teman saya tersebut satu persatu.

-Teman adalah orang yang selalu membuatmu tersenyum setiap mengingatnya.
-Teman adalah orang yang membuatmu bersemangat berangkat ke sekolah atau kuliah karena ingin bertemu dengan mereka.
-Teman adalah orang yang mengajakmu tertawa ketika ia bahagia, tetapi tidak ingin melibatkanmu dalam masalah-masalahnya.
-Teman adalah orang yang tetap ada disampingmu saat kamu dalam masalah tanpa berbicara sedikitpun dan menunggu sampai kamu membicarakan masalahmu.
-Teman adalah orang yang tidak akan berusaha membuatmu tertawa ketika melihat mukamu berlipat tetapi memberimu lebih banyak ruang untuk bernafas dan lebih banyak waktu untuk berfikir.
-Teman adalah orang yang tetap mengingatmu saat lebih banyak orang yang telah melupakanmu.
-Teman adalah orang yang selalu terbuka dan bercerita banyak tentang dirinya dan tidak memaksamu membuka diri padanya.
-Teman adalah orang yang selalu menekanmu berbuat lebih baik saat kamu kehilangan semangat.
-Teman adalah orang yang mencari dan menelponmu ketika kamu tidak masuk sekolah atau kuliah.
-Teman adalah orang yang tetap menerimamu dalam kelompok belajarnya ketika semuanya telah memiliki kelompok masing-masing dan melupakanmu.
-Teman adalah orang yang selalu berusaha meyakinkanmu bahwa kamu berarti.
-Teman adalah orang yang terlihat selalu menolakmu bersamanya tetapi malah selalu bersamamu dalam berbagai hal (kelompok belajar, teman sebangku, teman seperjalanan pulang, dsb)
-Teman adalah orang yang tertawa di kelas bersamamu hingga menerima hukuman dari guru bersama-sama.
-Teman adalah orang yang membela kepentinganmu saat yang lainnya meremehkanmu.
-Teman adalah tempat untuk lari dari kebosanan.
-Teman adalah orang yang merelakan kamarnya untuk kamu acak-acak ketika kamu tidak nyaman berada dalam kamar/rumahmu.
-Teman adalah orang yang kamu sadari selalu memanfaatkanmu tapi kamu selalu tak berdaya menolaknya.
-Teman adalah orang yang mengangkat beban dari pundakmu tanpa merasa dibebani.
-Teman adalah orang yang menyakitimu dengan kejujurannya karena tidak ingin memukulmu dari belakang.
-Teman adalah orang yang tidak kamu kenal tapi tiba-tiba datang membebaskanmu dari masalah saat mereka yang kamu kenal tidak ada untuk membantu.
-Teman adalah orang yang pertama mendatangimu dan menanyakan namamu saat hari pertama sekolah.
-Teman adalah orang yang selalu bisa memaafkanmu.

Dibalik poin-poin tersebut, tersimpan nama-nama mereka yang selalu saya simpan dalam hati.
Seiring waktu berjalan, tidak menutup kemungkinan poin-poin tersebut bertambah.

Bagi kalian yang memiliki lebih banyak teman, pastilah bisa lebih banyak menguraikan tentang apa itu teman sesuai versi kalian masing-masing.

PROLOG

Assalamu alaikum,

Ini adalah lembaran pertama blog saya. Salam kenal untuk semua teman yang telah bergabung.

Saya memberi nama blog ini bintang biru, karena kekaguman saya pada benda kecil yang bercahaya di langit malam (terlihat seperti itu dalam pandangan saya walau saya sadar sesadar-sadarnya jika ukuran sebenarnya dari benda kecil ini sanggup membuat mata saya membelalak). Bagi saya, bintang adalah sesuatu yang begitu indah meski tunggal maupun jamak. Jika sendirian ia seumpama cahaya kecil kesepian tapi tetap bisa menjadi kawan bagi siapapun yang kesepian dengan hanya memandanginya (percaya deh…), dan jika ia berjamaah (maksudnya borongan dengan teman-temannya)…Subhanallah…hamparan ladang cahaya…ciptaanNYa yang maha sempurna…

Kenapa biru? Entah pesona apa yang dimiliki oleh warna ini sehingga saya telah menyukainya sejak saya mulai mengenal warna (hehe..berlebihan kayaknya…)

Dan belakangan saya tahu bahwa warna biru pada bintang menunjukkan bahwa bintang tersebut paling panas dan paling terang diantara teman-temannya yang lain, makin menguatkan keyakinan saya bahwa bintang biru adalah nama yang istimewa (setidaknya bagi saya).

Saya telah banyak menggunakan nama ini dalam segala hal. Seperti password (hehe..ketahuan), nama email, nama samaran waktu chatting (ehm..ehm) dan lain-lain.

Pernah saya membuka sebuah blog dan menamakannya bintang biru tapi mungkin karena kebodohan dan kegatekan saya hingga saat saya membuka kembali blog saya tersebut (beberapa minggu setelahnya), blog tersebut sudah menjadi milik orang lain (seseorang telah mendaftar dengan nama yang sama sehingga blog saya mungkin ketutup…mungkin, nggak ngerti juga…).

Ada banyak kekurangan dalam blog ini. Maklum, selain hal beginian masih baru buat saya, saya termasuk gatek dan tidak begitu mengerti hal-hal seperti ini (tuh… kan untuk menggambarkan ketidakmengertiannya saja, saya bingung…).

Akhir kata, semoga banyak manfaat yang bisa didapatkan dari blog ini dan semoga kita dapat berbagi informasi melalui blog ini sembari saya menantikan sumbang saran demi kemaslahatan umat manusia…eh salah…demi kebaikan blog ini ke depannya amin.


Makassar, awal 2007


Penulis/pemilik blog