Sabtu, 27 Oktober 2007

justice or murder?

BINTANG DI ATAS LANGIT SENJA

Aku menatap jam di tanganku yang terus berdetak. Untuk sesaat, aku hanya mendengar detak jam yang seirama dengan detak jantungku, di tengah keramaian orang-orang yang juga sedang menunggu bus.
“Jam berapa?” tanya seorang bapak yang mungkin sedari tadi melihatku memperhatikan jam.
“Seperempat jam tiga.” Bapak itu kembali ke tempat duduknya setelah mengucapkan terima kasih.

Aku melangkah ke arah kedai minum. Aku berharap bisa membunuh rasa bosanku dengan beberapa teguk minuman dingin.
“Tidak ada uang kecilnya, De’?” tanya pemilik kedai minum
begitu kusodorkan uang duapuluh ribuan, aku menggeleng. Aku lalu duduk di bangku milik si penjual yang ditinggalkannya untuk menukar uang kembalian.
“Fantanya satu.” Seorang gadis menyodorkan uangnya padaku. Aku menerimanya setelah memberi minuman yang dimintanya. Kami berpandangan sesaat, ia terlihat kaget melihatku. Tapi aku tidak hanya kaget, aku benar-benar terpana. Senja itu telah pergi, meninggalkan hitam di dada ini. Tapi aku melihat semburat pagi membias indah di matanya.
“Terima kasih.” Dia masih sempat berpaling saat pergi. Aku mengawasi langkahnya, menjauh dan menghilang di tengah keramaian.
“Hei! Kenapa, De’?” Entah sejak kapan pemilik kedai itu berdiri di sampingku. Aku segera meraih uang kembalian dan berlalu dari tempat itu.

Suara menderu terdengar dari arah jalan raya menandakan bus yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku ikut berebut demi mendapatkan tempat yang nyaman. Beberapa yang lain turun kembali setelah menyimpan barangnya di kursi sebagai tanda kursi tersebut sudah ditempati. Aku memilih tetap ditempatku, menunggu bus berangkat. Kusandarkan kepala sambil memejamkan mataku, mengingat wajah yang tadi menatapku takjub. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.

Aku berlari pelan di antara barisan pohon kapuk yang memagari hamparan ladang yang luas. Pertengahan musim kemarau yang benar-benar panas. Bahkan pohon-pohon telah merelakan daun-daunnya gugur agar dapat bertahan. Tak terkecuali pohon kapuk di sepanjang jalan setapak itu. Daunnya hampir habis. Kulit buahnya mengering dan terbuka. Kapuk-kapuk berhamburan tertiup angin, sebagian jatuh di kepala dan pundakku. Salju putih, bisikku sambil tersenyum. Begitu aku menyebut benda kecil dan ringan itu di depannya, tiap kali bersamanya. Biasanya keningnya akan berkerut menanggapi ucapanku. Bibirnya membentuk tawa, memperlihatkan barisan gigi putihnya. “Dasar aneh!” Kata yang selalu dilontarkannya padaku.
Aku pun selalu menantikan langit pagi yang cerah, tanpa peduli sepanas apa siangnya nanti. Jika semburat pagi muncul, aku bersamanya melewati setapak itu. Menikmati udara pagi dan menyaksikan salju-salju itu jatuh dan tertiup angin.

Aku mengenalnya sebagai jiwa rapuh berbalut kerasnya batu karang. Sebagai bunga kecil di padang ilalang yang hanya tahu padang ilalang sebagai dunianya. Ia yang terlihat berjalan tegar tanpa ada yang tahu hatinya tertatih. Di mataku ia adalah si Upik abu yang tidak pernah bermimpi menjadi Cinderella atau siapapun. Ia membiarkan waktu berjalan dan menunggu kapan waktu benar-benar berhenti.

Dan aku menghampiri dunianya yang kecil itu. Bukan sebagai pangeran, tetapi sebagai mahasiswa Psikolog yang diutus demi tugas akhir. Ayahnya adalah mantan pasien dosen yang mengutusku. Entah kenapa, ayahnya menghentikan konsultasi dan memutuskan kontak.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa membuat ayahnya mau bicara denganku. Begitu pula dengan Wulan. Setiap kedatanganku disambutnya dengan tatapan dingin, meski di sana aku melihat beribu titik air mata yang membeku. Ayahnya yang di masa lalu adalah anak tunggal manja dengan perhatian yang melimpah tiba-tiba dihempas oleh kematian ibu dan isterinya dalam peristiwa kebakaran. Wulan kecil tumbuh menjadi pelindung dan satu-satunya pilar di rumahnya, tugas yang semestinya diemban ayahnya. Saat ayahnya butuh ibu, ia pun mengganti sosoknya sebagai ibu. Jika ayahnya butuh teman, ia pun merubah diri menjadi siapa pun yang dibutuhkan ayahnya. Ayahnya tak pernah tahu betapa ia berharap menjadi seorang anak perempuan di mata ayahnya. Keinginan-keinginan yang tak pernah terwujud terus menekannya, memaksanya menepi di sudut gelap, membangun dunianya sendiri di sana.

Dia membutuhkan bantuan lebih daripada ayahnya. Aku ingin membantunya melihat dunia yang maha luas ini. Membuatnya percaya akan ketulusan matahari memberikan sinarnya. Bagaimana indahnya bahasa langit yang menyapa bumi dengan titik-titik hujan.
Perlahan ia menerima uluran tanganku, dan ia selalu kubawa menyusuri jalan setapak itu. Membantunya mengukir senyum, merangkai tawa memberi warna di dinding hatinya. Dan bila bintang lupa bersinar di langit malamnya, aku datang membawakan setitik cahaya yang akan menemani senyum di tidurnya.

Seperti sebuah pukulan yang membuat dadaku sesak tiap kali mengingat senyum di wajah Awang. Senyum yang sama dengan senyummu saat memuji senja.

“Aku suka senja,” teriak Awang kala itu di kamar.
Aku tidak tahu sejak kapan Awang menyukai senja. Seperti aku tidak mengerti mengapa Wulan bisa begitu mengagumi senja. Yang aku tahu, Wulan sangat senang memandangi langit malam. Setiap bait, setiap lirik yang menyematkan kata bintang akan selalu disimpan dan diingatnya.
Aku kemudian mengerti setelah mendapati mereka duduk berdua di suatu senja. Aku melihat tawa yang sama saat bersamaku menikmati semilir angin pagi. Meski indah, tawa itu serasa sayatan di dadaku.
Bagaimana ia mengenal Awang? Sangat sederhana dibandingkan perkenalanku dengannya. Ia memanggil Awang dengan namaku. Kami memang dua manusia dari satu sel telur. Wajar jika Awang dipanggilnya dengan namaku.

Aku begitu membenci Awang, dengan semua permainannya yang sejak kecil mengharuskanku kalah. Aku tidak hanya membenci senja dan semua bait – bait puitisnya tentang senja yang ditinggalkan di mejanya, mungkin dengan sengaja agar aku melihatnya. Aku pun mulai benci melihat wajahku. Tiap kali melihat ke cermin, aku seperti melihat wajahnya yang menertawakanku.

Hari itu, hari dimana aku lebih memahami semuanya. Tentang senja, tentang Wulan, dan kebohongan Awang. Pagi itu benar-benar indah. Aku telah menuliskan banyak bintang untuknya tadi malam. Dan ia membacanya, melihat ke arahku, membacanya lagi, dan melihatku dengan sorot mata yang membuat hatiku sebiru langit pagi itu. Pagi yang indah, kalau saja Awang tidak muncul di depan kami.
“Gilang!” Wulan memandangi kami bergantian. Aku lebih terkejut lagi. Ia memanggil kami dengan nama yang sama! Awang bereaksi lebih cepat. Dia menarik tangan Wulan dan berlalu dari hadapanku yang masih mencerna apa yang terjadi.

Wulan benar-benar naif dan Awang mampu memanfaatkan itu. Dengan mudah Awang memperoleh maaf darinya, tapi aku tidak. Aku tidak akan memaafkannya! dan terjadilah peristiwa itu. Aku membunuh Awang. Aku tahu jantungnya lemah dan sangatlah mudah bagiku mempermainkan emosinya seperti yang juga dilakukannya terhadapku selama ini. Sebagai calon Psikolog, aku tahu betul emosi yang berlebih akan memacu aliran darahnya dan membuat degup jantungnya tidak normal…
Aku telah membunuhnya dan kuakui semuanya di depan hakim. Pengacara yang di sewa ayahku tak bisa berbuat apa-apa saat jaksa menjeratku dengan hukuman terberat.
***
Awal bulan Juli, bunga bermekaran dan hari selalu diawali dengan cerah. Aku di sini merekam satu per satu gambar di depanku. Barisan pohon kapuk yang mulai berbuah dan sekumpulan burung terbang mengarungi birunya langit. Aku masih ingat, saat kapal menepi di pelabuhan Makassar, betapa gumpalan rindu itu membuncah di tepian hatiku dan aku telah kembali menjawab semua riak rindu itu.

Hari-hari yang kulewati di kamar berjeruji itu lalu berpindah ke tempat rehabilitasi karena pembelaan terakhir pengacaraku yang mengklaimku tidak waras demi membebaskanku dari tuduhan, tidak juga membuatku mengerti untuk apa Awang dan aku melakukan semua ini. Demi dirinya? Atau hanya permainan kami dimana di setiap permainan Awang selalu harus menang?
Dulu aku selalu memaksakan waktuku luang di musim kemarau agar bisa berada di tempat ini bersamamu. Tapi sekarang aku menjauh dari tempat ini sebelum daun jatuh berguguran dan buah kapuk mengering. Tidak akan ada lagi pagi dengan semilir angin dan salju-salju bertebaran.
“Permisi.” Aku berhenti menulis dan menoleh ke arah munculnya suara tadi. Ia terkejut, ekspresi yang sama saat pertama kali melihatku. Gadis itu lalu duduk di sebelahku setelah menyimpan tas kecilnya di antara kami.
“Hai, jualannya sudah tutup, ya?” sapanya. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.
“Kenapa menatapku?” tanyaku. Padahal akulah yang tidak bisa melepaskan pandangan dari wajahnya.
“Oh, maaf. Kakak mirip seseorang,” jawabnya lalu meraih komik dari dalam tasnya dan tidak mempedulikanku lagi. Aku yang semestinya mengatakan itu.
Aku menatap matanya yang tenggelam di antara gambar-gambar komik. Ah, mereka tidak mirip, hanya jika dilihat dari jauh. Garis-garis wajahnya memang sama. Tatapannya pun beda.
“Kiri, Pak!” teriaknya lantang mengagetkanku.
“Maaf, permisi,” ujarnya sambil meraih tasnya.
“Itu....” Ia menggamit lenganku dan mengarahkan pandanganku ke seseorang yang menunggu di bangku halte.
“Kakak mirip dengannya,” senyumnya. Aku tersentak, wajah Awang yang pucat melemah hadir di depanku.
Ia tersenyum membalas lambaian gadis di sampingku.
“Kalian mirip, kan?”
“Dia mirip Awang,” ucapku lirih.
“Awang?”
Laki-laki itu berdiri menyambut gadis yang baru turun dari bus. Bus kembali bergerak meninggalkan mereka. Gadis itu melambaikan tangannya padaku dan aku melihat Awang dan wulan berdiri disana.
Senja mulai turun saat bus tiba di pemberhentian terakhir. Aku melambaikan tangan ke arah becak yang parkir di pinggir jalan.
“Pelabuhan…tiga ribu,” tawarku. Si tukang becak mengangguk.

Becak melaju menuju tempat yang kuminta. Sementara di langit sana sebuah bintang mulai hadir. Bersinar sangat terang seolah ingin mengalahkan matahari yang mulai memerah.
Andai aku tahu, ia hanya punya 24 jam setelah hari naas itu, ini tidak perlu terjadi. Aku tidak akan memaksa Awang meninggalkan dunia ini. Aku akan membiarkan Wulan bersama dengan siapapun yang diinginkannya.


*SELESAI*

Kamis, 25 Oktober 2007

DEAR GOD

DEAR GOD,
YA ALLAH, Maha Besar Engkau yang memiliki langit dan seluruh cahaya di angkasa, bumi dan seluruh isinya.
Maha Kasih Engkau yang menghidupi seluruh makhlukMu, merawat mereka yang lemah dan luka, membesarkan dan mengawasi setiap mereka tanpa pilih.
Maha kaya Engkau dan Maha Pemberi, yang dengan hartaMU yang tak habis-habis menafkahi seluruh isi bumi, mengenyangkan perut-perut yang lapar, menyirami akar-akar yang kering, memenuhi dan memuaskan setiap pori.
Maha cerdas Engkau yang menjadikan hidup sebagai proses meski KAU sanggup mengadakan yang tiada dengan satu kata. Dengan ilmuMU yang tak berbatas, Engkau mengajari makhlukMU tentang hidup dan hakekat dari setiap proses dan perjalanan.
Ya Allah, Engkau Yang Maha Mendengar setiap getar hati yang bersembunyi, setiap denyut yang merintih, memahami setiap kata yang bisu.
Engkau yang Maha Melihat. TatapanMU menembus jantung dan mengoyak kepura-puraan.

Tuhanku,
KAU yang membasuh jiwa-jiwa yang luka, tempat mengadu ketika jatuh, tempat bersandar ketika hati telah lelah.

Tuhanku yang Maha Pengampun.
Telah kukoyak kepercayaanku dengan keragu-raguan. Maafkan aku yang hampir jatuh dalam putus asa. Seolah KAU telah tak peduli lagi. Maafkan aku yang tak sanggup lagi melihat uluran kepedulianMU. Maafkan aku yang lupa pada rahmatMU yang tak putus-putus. Maafkan aku yang dibutakan oleh rintihan air mataku sendiri. Maafkan lidahku yang larut dalam keluh kesah dan lupa menyebut KebesaranMU. Aku telah dibodohi sejuta keluh dan tidak melihat karunia dan pemberianMU. Maafkan aku yang lupa berterima kasih.

Tuhanku yang Maha Pengasih.
kasihanilah jiwa lemah ini. Biar kulihat lagi cahayaMU.

Selasa, 09 Oktober 2007

Luka

“Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari.
Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu.
“Nanti kena infeksi….”
“Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.”
“Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.”
Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….”

***

Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain.

Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menanganinya dengan baik. Jangan pernah, jika kita tidak bermaksud menyembuhkan. Lebih-lebih, jika hanya untuk tahu seberapa dalam ia terluka. Jangan, karena hanya akan memperparah luka tersebut.

***
Nggak usah ke dokter dong, Bu. Nanti kan lukanya sembuh juga, asalkan tidak dikorek.” Anak itu nyeletuk lagi setelah dijanjikan cepat sembuh asalkan lukanya tidak dikorek.
Ibunya diam sejenak. Mulai kehabisan kata-kata dan kehabisan kesabaran. Tapi tampaknya ia seorang ibu yang baik. Dia menghela nafas lalu menjawab lagi.
“Iya…ada luka yang bisa sembuh nggak pake dokter. Dibiarin juga, nanti akan sembuh sendiri. Tapi bisa lamaaa…..sekali,” jawabnya kemudian.
Ibunya menyebut kata ‘lama’ panjang banget. Kepalanya sambil mutar-mutar. Sang anak tergelak. Orang-orang yang ada di dekat mereka ikut tersenyum. Aku pun tak bisa menahan senyum geli.
“Nah…ada juga luka yang mesti diobati ke dokter. Kalau nggak, bisa infeksi. Kalo infeksi, bisa … bonyok.”
“Bonyok…!?” anaknya membelalak. Sang Ibu tampak menyesal mengeluarkan kata itu. Tapi ia tidak kepikiran kata yang lain lagi untuk mengganti kata itu.
Anak itu terdiam lalu mengelus-elus lukanya dan meniupnya dengan lembut. “Jangan bonyok, ya ….”

Aku tergelak. Aku benar-benar tak bisa menahan tawa lagi. Aku jadi lupa pada luka di kakiku akibat keserempet motor tadi. Sejurus kemudian, aku meringis lagi. Perih.
Aku kembali terkesan ketika anak itu mulai mengeluh lagi,”Tapi gatal…, Bu,” dan ibu itu kembali menjawab dengan lembut,” Tahan ya, nak. Waktu sakit aja kamu bisa tahan, apalagi sekarang cuman gatal, kan?”
***
Bener banget! Semua orang pada dasarnya telah diberi kekuatan untuk bisa menahan luka yang dititipkan padanya. Allah telah menakar kekuatan setiap manusiaNYA sebelum DIA memberi cobaan. DIA Maha Tahu dan hitunganNYA tidak akan salah.

Tapi kalo dikorek-korek…mmm…ingat, semut aja bisa menggigit lho….tanpa pandang sebesar apa yang digigitnya....

***
“Thamrin!” Seorang suster muncul di pintu memanggil namaku.
“Ya, Sus!” Aku menjawab lalu berdiri menyeret langkah tertatih masuk ke ruang dokter. Saat melewati anak kecil itu, aku menegakkan badanku. Memang lukaku jauh lebih parah dari yang diderita anak itu. Tapi aku lebih besar dan lebih berpengalaman darinya.
Aku tersenyum saat melewatinya, berusaha menunjukkan bahwa aku orang yang pantas untuk luka yang kuderita sekarang.

***

Minggu, 07 Oktober 2007

Meminta Sang Dewi.

Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu
yang slalu bersinar di langit...

Di langit bulan benderang
cahyanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu
untuk menerangi tidurku yang lelap
di malam gelap


Setiap mendengar lagu ini, hati saya langsung ... mmm saya tidak tahu kata yang tepat,
tapi baiklah saya akan coba menggambarkannya. Ketika mendengarnya, saya merasa ada
yang perih (ooh..., hehe) tidak tahu bagian yang mana dan tanpa tahu untuk alasan apa,
berkoordinasi dengan mata yang berkedip-kedip (bukan kelilipan meski alasan itu sering dipakai orang untuk memuaskan rasa malunya....)

Dari lagu ini tergambar permintaan seorang anak kecil, tidak dengan merengek, bukan memelas ataupun memaksa. Walaupun seorang anak kecil sah-sah saja melakukan hal-hal tersebut jika keinginannya tidak dipenuhi. tetapi ia hanya meminta, hanya meminta (sekali lagi!). Meski pada lagu itu kalimat permintaan-nya, ambilkan bulan, Bu diulang hingga dua kali pada awal lagu dan diulangi lagi di bait terakhir, tetep aja tidak ada kesan memaksa karena nada pada kalimat pertama dan kedua sama (tidak meninggi dan tidak ada tekanan). Biasanya anak kecil akan mengembel-embeli rengekannya dengan..Tidak mau!Tidak mau! Pokoknya mau bulan! Ambilkan bulan dong, Bu! Tetapi dalam lagu ini kita tidak mendapati hal seperti itu, kan? (hehe….)

Di langit bulan benderang, cahayanya sampai ke bintang. kalimat tersebut menggambarkan betapa jauh hal yang diinginkan oleh anak itu untuk jadi kenyataan, dan ia sangat memahami hal tersebut. Itu sebabnya ia tidak memaksakan kehendak untuk menjadikannya nyata.

Meski lagu ini untuk anak kecil, kenyataannya lagu ini dibuat oleh orang yang sudah besar/berumur (saya tidak menggunakan kata dewasa, sebab ada perbedaan besar antara berumur dan dewasa. sedang kata yang sebelumnya saya pakai untuk dibandingkan adalah 'anak kecil'). ‘Orang besar’ biasanya lebih punya banyak kata-kata untuk menyamarkan keinginan-keinginannya. Tapi pada lagu ini, permintaannya akan kehadiran sang bulan langsung aja diucapin, ‘Ambilkan bulan’. (Padahal lagu ini dibuat ketika trend lagu-lagu berlirik jujur dan to the point belum menjamur seperti sekarang). Ini adalah suatu bentuk pengakuan dari kaum ‘orang besar’ bahwa kepolosan dan kejujuran tetap monopoli ‘kaum anak kecil’, dan satu fakta lagi yang tidak bisa dibantah, yaitu kaum ‘orang besar’ adalah mereka-mereka yang dulunya anggota ‘kaum anak kecil’. Dalam lubuk hati setiap orang selalu ada keinginan untuk kembali menjadi anggota ‘kaum anak kecil’ meski itu tak mungkin karena terbentur syarat umur keanggotaan. Ini disebabkan adanya anggapan bahwa saat menjadi anggota ‘kaum anak kecil’ adalah saat-saat yang indah, saat yang tidak mungkin berulang. Padahal tidak ada waktu yang berulang. Berarti, setiap detik haruslah kita anggap indah.

Trus, kenapa harus bulan? Apakah lagu ini dinyanyikan seorang anak yang sedang memandangi bulan dari jendela kamarnya sebelum tidur? Sepertinya begitu. Saya sendiri melihat bulan sebagai senja sepanjang malam. Jika senja hanya menggoreskan warna indahnya di satu sisi langit aja maka purnama adalah senja yang mewarnai se-hampar langit, sepanjang malam. Jika kita harus mencari daerah-daerah yang dapat membuat kita melihat langit sisi barat tidak terhalang oleh apapun seperti laut, atau hamparan sawah, maka cahaya warna sang bulan bisa kita nikmati di mana saja, di pinggir jalan, di atap rumah, atau di balik jendela kamar, di mana pun sepanjang malam. Jadi, adakah makhluk bumi yang tidak mengagumi keindahan sang dewi malam ini? (Anak kecil aja tau mana barang yang bagus dipandangi…hehe). Bahkan, srigala pada saat purnama, melolong meneriaki sang dewi, entah mengagumi. entah memaki.

Ambilkan bulan, Bu. Anak ini meminta ibunya untuk mengambilkannya bulan. Kenapa bukan Ambilkan bulan, Pak? Kenapa memintanya pada ibu dan bukan pada ayahnya? Ini pertanyaan yang agak susah dicari jawabannya. Ambilkan bulan, Bu merupakan permintaan rahasia seorang anak, dibisikkan ketika hendak tidur dimana sang ibu mulai menyelimuti tubuh anaknya dan memberikan kecup selamat malam. Seseorang lebih bisa berbagi rahasia pada orang yang lebih sering bersamanya, orang yang pertama kali dilihatnya saat muncul di dunia (bidan dong! Hehe…maksudnya ibu lho....); nb: pada sebagian kasus mungkin tidak seperti ini.

Ambilkan bulan, Bu. Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap. Bukankah itu sudah tugasnya sang bulan? Untuk menerangi gelapnya malam? Tidak perlu ada di samping kita, kan? jika ingin merasakan terangnya?

Kalau yang didengar lagu versinya Tasya…bener-bener keren!! Musik sendunya berpadu dengan suara polos Tasya yang lembut banget. Padu banget! Kita bakalan mendengar Tasya seolah tidak bernyanyi tetapi bercerita kepada kita tentang keinginannya. Di bagian akhir, Tasya mengulangi lagi permintaannya tapi dengan efek fade out menggambarkan bahwa dia sama sekali tidak memaksa, seolah dia ingin berucap, tidak apa-apa deh….

Tamalanrea, 28 sept 07