Kamis, 06 Desember 2007

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari (2)

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari (2)

Lalu aku pun menyebutnya maha guru. Dia pun kelihatannya tak keberatan.

Pagi ini aku menatapnya seperti kemarin. Mukaku pucat meski dia tampak berusaha menghangatkan diriku. Sehelai dasi terjuntai di tanganku. Jasku kulempar di atas rumput. Terbayang wajah atasanku dengan kening berkerut memandangi surat di tangannya. Surat pengunduran diriku. Dia tampak gusar. Lalu aku teringat saat aku pertama datang kepadanya. Dengan penuh semangat, dia menjabat tanganku. Selamat bergabung! Energi dan potensi anda seperti matahari, ucapnya saat itu.

Kau pikir mudah dapat kerja! Kau mau jadi apa? Dia berusaha mengubah pikiranku.
Matahari, Pak, ucapku sebelum meninggalkan kantornya.

Kupandangi laju mobilku, pelan meninggalkanku. Pak Sopir akan membawanya ke kantor. Mobil itu barang pertama yang disita kantor. Aku memandang matahari dengan putus asa. Dengan sisa percayaku yang kutahu tak berguna lagi.
aku memicingkan mata karena silau. Aku tak bisa sepertimu, bisikku. Dan matahari berteriak garang, bertahanlah! Aku merasa kulitku terbakar.

Aku sebenarnya tidak ingin memunculkan diri lagi di depannya. Tapi entah apa yang selalu membawaku kembali padanya. Dan dia sudah di sana. menunggu, seperti kemarin-kemarin. tepat, seperti yang dijanjikannya. Sepertinya tidak ada yang bisa mencegahnya. Begitu melihatku, ia tersenyum. Meski ia telah memenangkan perdebatan kemarin. Senyumnya bukanlah senyum kemenangan. Aku tergugah lagi. kupandangi dirinya yang bersinar terang sampai-sampai panasnya hampir membakar retinaku.
Siap belajar lagi? tanyanya. Kukumpulkan keberanianku yang berceceran sampai akhirnya aku mengangguk lemah.

Dia tersenyum lalu melesat tinggi. Panasnya bertambah berlipat-lipat. Aku memakai topiku karena tak tahan. Kenapa? tanyanya. Panas? Aku mengangguk karena tidak bisa menyembunyikan butiran keringatku yang membasahi muka hingga punggungku. Haruskah ku kurangi panasku? Haruskah aku kembali ke posisi yang tadi? posisi dimana kau merasa nyaman? tanyanya lagi. Aku segera mengangguk setuju karena benar-benar kepanasan. Dia tersenyum. Lalu katanya, tidak. Tidak akan mungkin. Aku adalah waktu, dan waktu tidak pernah kembali.
Aku adalah waktu. Tidak ada yang bisa menghalangi siang, ataupun mencegah malam, Katanya lagi.

Aku menunduk resah. Aku tidak bisa mengembalikan waktu. Dan terbayang seluruh tempat ini tertutupi oleh dua bangunan besar. Dan sebuah menara pemantul gelombang dari satelit berdiri tak jauh dari sana.

Aku memandang senyumnya yang mulai melembut. Segumpal awan menari di sekitarnya. Aku melangkah gontai menjauhinya meski ia meneriakiku berkali-kali. Kembali! Kembalilah, teriaknya.
Aku tetap melangkah meski sisa keberanianku meronta-ronta memaksaku berbalik.
Tak berapa jauh langkahku, aku berhenti. Dan kudengar ia berteriak lagi, Pergilah! Tapi kembalilah besok pagi. Aku menunggumu di ufuk timur.

Pergilah! Ini memang sudah saatnya untuk pergi. Seseorang menungguku untuk interview. Sebuah pekerjaan dengan gaji berlipat-lipat lebih kecil dari gajiku sebelumnya menungguku. Dan sepertinya aku akan terlambat lagi hari ini. Aku berhenti karena di pikiranku terlintas sesuatu, apa kau pernah terlambat, matahari? Tapi tak jadi kutanyakan.
Aku kemudian berbalik menatapnya. Besok aku ke sini lagi, janjiku meski mungkin tak seperti janjinya.


Perihnya masih terasa, sakitnya tak terhingga
nafsu ingin berkuasa sungguh mahal ongkosnya

Apapun yang kan terjadi, aku takkan lari
apalagi bersembunyi, takkan pernah terjadi

air mata darah telah tumpah demi ambisi membangun negeri
kalaulah ini pengorbanan, tentu bukan milik segelintir orang

Belum cukupkah semua ini, apakah tidak berarti?!
lihatlah wajah ibu pertiwi, pucat letih dan sedihnya berkarat!
berdoa, terus berdoa hingga mulutnya berbusa-busa
ludahnya muncrat saking kecewa
ibu pertiwi hilang tawanya
tak percaya masih ada

hingga seluruh hidup pun jadi siaga
agar perduli kutancapkan di hati

untukmu negeri yang telah memberi arti
untukmu negeri yang telah melukai ibu kami
untukmu negeri yang telah merampas anak kami
untukmu negeri yang telah memperkosa saudara kami
untukmu negeri, waspadalah
untukmu negeri, bangkitlah
untukmu negeri, bersatulah
untukmu negeri, sejahteralah kamu negeriku


(Untukmu negeri, By Iwan Fals)



Tamalanrea, November 07

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari

Kalau boleh, aku mengatas namakan matahari-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan bumi-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan hutan-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan laut-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan tanah dan air-NYA

Kalau boleh, Aku mengatas namakan ibu,
Atas nama pertiwi ku,

Kepada anda yang menghianati ibu
Kutulis ini untuk mereka yang tak henti kau peras untuk mengisi kantungmu!!!!

Tertanda,

Anak negeri



Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari



Aku menyebutnya maha guru. Mungkin dia tidak akan keberatan.
Pagi itu, entah dari mana pikiran gila itu muncul. Aku menyuruh sopir menghentikan mobil, lalu aku turun. Pak, tunggu saya di perempatan, ucapku saat itu. Pak sopir tampak keheranan dengan kelakuanku yang sangat tidak biasa tapi ia kemudian mengangguk. Aku memandangi AVP hitamku yang melaju pelan menjauhiku. Lalu mataku beralih ke sekitar jalan. Sejak kapan jalan seperti ini? Kenapa aku tidak pernah melihat yang seperti ini? Tapi aku lalu menertawai diri. Aku memang melewati jalan ini setiap hari. setiap harinya! Tapi aku di dalam mobil, tertutup. Dan di dalam mobil, mana sempat melihat ke jalan. Sebab di tanganku sudah ada setumpuk kertas yang menyita seluruh perhatianku.

Rumput-rumput di pinggirannya hijau segar. Aku memperlambat langkahku, menikmati setiap jejak udara dingin yang menyusupi kulitku. Ternyata dingin yang kurasakan berbeda dengan dingin yang keluar dari AC mobilku. ini jauh lebih segar. Aku mengendorkan dasi dan membuka kancing atas kemejaku. Membiarkan angin dingin menyusup lebih jauh.
Aku kemudian menghela nafas. Awalnya berat. Bagaimana tidak? Di pikiranku melintas bayangan atasanku dengan muka menegang menatapku. Proyek ini tidak boleh gagal! Perusahaan sudah berkorban banyak! Kerugian akan sangat besar! ucapnya meninggi. Yah, proyek yang dipercayakan padaku memang diujung tanduk. Aku bahkan belum berhasil mencapai kesepakatan dengan para pemilik tanah yang akan dijadikan lahan proyek.

Aku menarik nafas lagi. Kali ini terasa lebih ringan. Udara segar memenuhi rongga dadaku. Seperti ada yang mengangkat bebanku sebentar. Terima kasih, ucapku pelan. Entah pada siapa.
Aku menebar pandanganku lalu kulihat sebuah senyum muncul di sana. Wajahnya bersinar. kemilaunya hangat menyapa. Selamat pagi, ucapnya. Aku menoleh, dia bicara padaku? Ah, tidak. Sepertinya dia menyapa semua yang ada di sini. Selamat pagi, dia terdengar lagi.
Pagi, balasku lesu.
Kupikir suaraku yang menggema. Tapi ternyata bukan hanya aku yang membalas sapanya. Dan berbeda denganku semua tampak bersemangat menyambut kedatangannya. Aku tergugah. Siapa dia?

Lalu aku teringat dua hari yang lalu. Dengan modal senyum dan sapaan itu, aku berdiri di depan sekelompok masyarakat yang menuntut tanah mereka. Tidak ada yang menyambutku sehangat mereka menyambut matahari.

Aku mungkin mulai gila. Tapi dia benar-benar menatap dan tersenyum padaku.

Ada apa, anak muda? Dari semua yang nampak dari sini, kau yang terlihat paling merana, senyumnya. Aku melihat sekelilingku. Dia benar, semua tampak bahagia pagi ini. Sepasang petani tua di ujung mataku tampak mesra saling melayani. Sekelompok petani berjalan sambil memanggul pacul, riuh saling melempar sapa. Barisan padi menghijau terhampar, meliuk-liuk menyambut sinarnya. Rumput-rumput ikut menari di sekitarnya.

Tiiit...tiiit, alarm jam di pergelangan tanganku berbunyi. Aku bangkit. Banyak hal yang harus kuselesaikan pagi ini. Aku menyusuri jalan menuju perempatan tempat mobilku diparkir. Di setiap langkah, aku tidak henti berpikir. Jalan ini nantinya akan bertambah 5 meter ke samping kiri dan kanan. Di pinggir jalan, berderet rumah-rumah yang tersusun rapi hingga ke ujungnya. Rumah-rumah ini akan lenyap, bisikku. Aku berhenti sejenak. Pandanganku berhenti di sebuah sumber riuh tak jauh tempatku berdiri. Sejenak aku terpana. Sekelompok anak kecil berlarian mengejar dan memperebutkan bola. Lalu aku melihat diriku yang masih kanak ikut berlarian dan tertawa. Yang lain menertawakan langkah kecilku. Tapi aku tak peduli. Aku ikut memperebutkan bola. Dan di atas kepala kami, sebuah bola besar bercahaya ikut menyaksikan jalannya permainan. Keringatku tampak bercucuran tapi aku tidak peduli. Aku terus saja berlari meski tak pernah sekalipun menyentuh bola.

Dia menatapku dan berteriak, Lihat mereka! Mereka adalah dirimu! Keringatku meleleh di sudut dahiku. Kemudian dia tersenyum. Kau sama seperti mereka. Sama-sama berlari. Mereka mengejar bola. Dan kau mengejar sesuatu yang tidak ada.

Aku berjalan melanjutkan langkah. Tidak mempedullikan teriakannya. Lapangan itu juga akan lenyap, bisikku lagi. Aku sendiri tak tahu, Nuraniku lenyap ke mana.

Engkau tetap sahabatku

dia adalah sahabatku bahkan lebih
dia adalah yang diburu datang padaku
sekedar tempat lelah dan sembunyi untuk berlari lagi

dia adalah yang terbuang mengetuk pintuku
penuh luka di punggungnya, merah hitam
dia menjadi terbuang setelah harapannya dibuang

bapaknya pegawai kecil kelas sendal jepit
yang kini di dalam penjara sebab bela anaknya
untuk darah daging yang tercinta selesaikan sekolah

sahabatku gantikan bapaknya coba mencari kerja
namun yang didapat cemooh, harga dirinya berontak!
lalu dia tetapkan hati, hancurkan sang penguak!

air putih aku hidangkan, aku di persimpangan
aku hitung semua lukanya
seribu bahkan lebih, sejuta, lebih

pagi buta dia berangkat diam-diam
masih sempat selimuti aku yang tertidur
aku terharu, doaku untukmu

sebutir peluru yang tertinggal di bawah bantalnya
kuberi tali jadikan kalung lalu kukenakan
sekedar pengingatmu kawan, yang terus berlari

selamat jalan, kawan
selamat menangi air mata
hei, sahabat yang terbuang...engkau sahabatku, tetap sahabatku...

engkau sahabatku, tetap sahabatku

('Engkau tetap sahabatku'iwan fals)

Minggu, 02 Desember 2007

My Favourite song

"Everybody's Changing"

You say you wander your own land
But when I think about it
I don't see how you can
You're aching, you're breaking
And I can see the pain in your eyes
Says everybody's changing
And I don't know why

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same

You're gone from here
And soon you will disappear
Fading into beautiful light
Cause everybody's changing
And I don't feel right

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same

So little time
Try to understand that I'm
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody's changing
And I don't feel the same