NYANYIAN PUNGGUK
I never found the words to say
You’re the one I think about each day
And I know no matter where life takes me too
A part of me will always be with you…
Sayup-sayup suara S club7 memenuhi udara di kamar Tina. Pikirannya menerawang. Keputusan ayahnya untuk pindah ke kota ini sempat tidak di setujuinya, meski pada akhirnya dia menurut juga.
Kepindahannya ke kota ini harusnya membuat ia senang. Tapi ia takut, takut menumbuhkan harapan yang seharusnya sudah mati.
Seperti hari kemarin, Tina hanya menghabiskan waktu di kamar. Sekolahnya masih libur. Lagipula, ia tak ingin membebani pikirannya dengan masalah perkenalannya sebagai siswa baru atau hal lainnya.
Tina memejamkan mata beberapa saat. Sosoknya muncul lagi, meski Tina susah payah menghapusnya.
“Iman….” Sebuah nama terucap lirih di bibirnya.
Iman dikenalnya dari chating. Tina menyukai puisi-puisi yang selalu diselipkan Iman tiap kali chating. Mereka lalu janjian ketemu dan sering menghabiskan waktu berdua. Tak pernah terlintas, kebersamaan mereka hanya seumur jagung.
Tina sering mendengar cerita keluarga Iman yang broken. Bahkan Iman sering mengeluh tidak tahan tinggal bersama orang tuanya yang saban hari bertengkar. Tapi ia tak pernah menduga Iman akan pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untuknya. Ia lalu berusaha bicara dengan keluarganya, tapi yang ditemuinya hanyalah sepasang orang tua yang asyik bertengkar mulut.
Seminggu, dua minggu, Tina masih berharap Iman akan menghubunginya. Tapi ternyata tidak. Hingga pada hari itu, sepulang sekolah, Tina mendapati selembar surat di atas meja belajarnya. Perasaannya tak menentu setelah ia melihat nama pengirimnya.
Aku minta maaf. Jangan menungguku, aku tidak akan pernah kembali.Maaf telah melibatkanmu dalam cerita hidupku.
Iman
Iman tak menulis lengkap alamatnya. Hanya kotanya.
Makassar? Kenapa dia bisa sampai sejauh itu? Berbagai pertanyaan membayang saat itu, dan masih membekas hingga sekarang.
Berada di kota yang sama, membuatnya makin sedih. Sedikit demi sedikit Tina mencoba melupakannya. Meski terkadang, ia masih celingukan. Memandangi wajah tiap orang saat berada di Mall atau di jalan. Berharap wajah Iman akan ditemuinya.
***
Suara riuh terdengar dari luar. Tina melewatkan waktu istirahatnya dalam kelas. Sejak tadi, Leni, teman sebangkunya, gencar minta ditemani ke kantin. Tapi ia malas bergerak hari ini.
Ia kemudian menutup Harry Potter yang sedari tadi dibacanya. Tina menyandarkan punggungnya. Ia menoleh ke sudut ruangan setelah menyadari dirinya tidak sendiri.
Tina mengamati cowok yang sedari tadi sibuk dengan bacaannya juga. Ia tidak bergeming dari posisinya. Namanya Anto. Dibandingkan dirinya, Anto lebih pendiam dan tidak bergaul dengan siapapun. Tina belum pernah melihatnya bicara akrab dengan seseorang di sekolah ini.
Tina berdiri dari duduknya. Ia memutuskan menyusul Leni ke kantin. Tina berjalan melewati anak itu, tapi sedikitpun ia tak mengalihkan pandangannya dari buku.
***
Hari-hari yang dilewatinya di sekolah membantunya melupakan kesedihannya. Tina mulai menyapa setiap orang dengan senyumnya. Seperti yang dilakukannya pagi ini. Kemudian matanya berhenti di satu bangku yang kosong. Ini sudah hari ketiga Anto tidak masuk tanpa surat pemberitahuan.
“Eh, kamu tahu nggak apa yang terjadi dengan anak itu?” bisiknya pada Leni. Leni mengikuti pandangannya ke arah bangku yang kosong. Leni tak menjawab, malah memandangnya heran.
“Kamu yang pertama menanyakannya,” ucapnya. Tina terdiam. Memang kelas ini tidak mempedulikannya. Dia hadir atau tidak, sama saja.
Bel istirahat berdering. Ajakan Leni ke kantin kembali ditolaknya. Leni berlalu dengan wajah cemberut.
“Lain kali … deh aku yang traktir,” begitu ucap Tina.
Ia punya rencana lain. Ia bergegas ke ruang Tata Usaha. Waktu istirahat tersisa hanya 15 menit.
Dengan mudah Tina memperoleh alamat Anto. Apalagi pak Darma, pegawai Tata Usaha ikut membantunya. Tina lalu menunjukkannya ke Leni.
“Ini alamat Anto. Kita ke rumahnya, yuk,” ajaknya.
“Hanya kita berdua?” Tanya Leni.
“Kau boleh ajak yang lain.”
Leni mengedarkan pandangannya ke kelas. Tampak masing-masing larut dengan kesibukannya. Ada yang ngobrol di sudut kelas, sebagian lain sibuk mengerjakan tugas yang mestinya dikerja di rumah. Leni menggeleng,”Kita pergi berdua saja.”
***
Di koridor Rumah Sakit tampak Tina dan Leni celingukan mencari nomor kamar yang didapatnya dari tetangga Anto. Dari tetangganya itu, mereka tahu akan kecelakaan yang menimpa ayah Anto.
Anto berdiri menyambut begitu melihat kedatangan temannya. Setelah berbasa-basi dengan ayahnya yang mulai membaik, Leni bertanya rinci kejadiannya pada Anto. Anto menjawab dengan kikuk. Ini pertama kalinya Leni mengajaknya bicara. Tina yang duduk di luar tersenyum melihat mereka berdua ngobrol.
Pandangan Tina beralih ke kamar sebelah yang gordennya setengah terbuka. Seseorang dari jendela mengamatinya. Orang itu membuang muka, saat mata mereka berpapasan. Tina berusaha mengenali wajah yang sesaat kemudian menghilang. Meski sesaat, mata itu seolah bercerita banyak kepadanya. “Aku kenal dia dimana ya…,” batin Tina bertanya-tanya.
***
Dengan bantuan tongkatnya, ia menyeret kakinya untuk tetap melangkah. Kaki kirinya lumpuh dan tumbuh tidak sempurna. Kecelakaan yang dialaminya saat kecil merenggut kesempurnaan langkahnya dan perlahan-lahan memupus kepercayaan dirinya.
Dia sudah sangat lelah hari ini. Ia kemudian duduk besandar di depan apotik, menunggu namanya dipanggil. Hari ini antriannya banyak.
Pikirannya berkelana. Dua bulan lebih, ia menunggui adiknya di sini. Kecelakaan yang menimpa adiknya di kota ini memaksanya pindah. Senyumnya sedih saat mengingat ia berbisik pada adiknya tadi, “Ibu kesini tapi hanya sebentar. Bapak juga.” Dia tidak memberi tahu, bapak dan ibunya bertengkar lagi saat mereka bertemu. Adiknya pasti sedih jika mendengarnya.
Ia memejamkan mata, pikirannya terganggu sosok wajah yang dikenalinya dari balik jendela tadi.
“Kenapa dia bisa ada di kota ini? Apa aku tak salah lihat?” galaunya.
Senyumya masih sama, gumamnya. Ia menunduk memandang kakinya, “Aku tak berhak mencintainya,” desisnya.
Tina mengamati dari kejauhan sambil memegang sebuah buku. Cowok itu tak sengaja menjatuhkan sebuah buku yang kini berada di tangannya. Tina berusaha mengejar saat melihat cowok itu beranjak, tapi ia keburu menghilang di tikungan.
Tina kembali ke ruang rawat dan mengamti jendela dari ruang sebelah. Berharap cowok tadi akan ditemuinya untuk mengembalikan bukunya.
Perhatiannya beralih ke buku itu. Seperti buku harian. Tina membuka halaman pertama. Hatinya berdetak lebih cepat saat mengenali sebait tulisan di sana.
Dengarkan pungguk ini bernyanyi, kau rembulan di langit malamku.
Takkan memintamu menemaniku di bumi. Tetaplah di atas sana
Bersama gemerlapnya bintang-bintang.
“Iman…,” desisnya. Nama itu muncul lagi. Dengan tak sabar dibukanya lembar demi lembar.
Aku kenal dengannya hari ini. Di dunia maya, tentunya. Sebab jika dia melihatku, dia akan membuang muka tanpa ingin tahu namaku. Seperti yang lain.
Dia menyukai puisiku. Itu yang dikatakannya. Aku mulai jatuh cinta. Tapi tak mungkin ia melihatku dengan keadaanku yang seperti ini.
Di lembar lain tertulis
Dia mendesak ingin bertemu. Ya, aku akan menemuinya hari ini, dengan wujud adikku.
Kening Tina berkerut, gelisah menyusup ke hatinya.
Aku tak bisa mengendalikan keadaan lagi. Iman makin jauh dari pantauanku, dan dia pun mulai jatuh cinta padanya.
Tulisan berikutnya membuat Tina membelalak kaget.
Iman harus belajar mencintai dengan caranya sendiri. Aku takkan membantunya membuat puisi lagi. Aku sendiri lelah dengan skenario ini. Dia mencintai Iman, bukan aku.
Tina berlari ke kamar sebelah. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong. Seorang suster menghampirinya.
“Kami ikut berduka. Jenazahnya baru saja dibawa, keluarganya?” Tina menggeleng lemah.
Suster menjawab semua pertanyaannya yang beruntun. Tina terpaku, Iman benar-benar telah pergi.
“Sebentar kakaknya akan ke sini memberesi barang. Ditunggu saja,” ujar suster itu.
“Tidak, aku cuma ingin menyerahkan ini…milik kakaknya”.
Tina berusaha menguasai diri. Langkahnya gontai menemui Leni dan Anto yang kebingungan mencarinya.
***
“Ini….” Anto menyodorkan selembar kertas terlipat. Tina memandangnya tak mengerti.
“Tetangga kamar di RS kemarin bertanya banyak tentang kamu. Dia menitip ini,” jelasnya.
Aku berdosa besar. Dulu akulah yang menulis surat untukmu dan bilang, Iman takkan pernah kembali. Dia memang takkan pernah kembali. Aku bersalah pada kalian. Maaf.
Tian
“Tian…Bastian permana…,” lirihnya mengingat nama yang tertulis di sampul buku kemarin.
##***##
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar