Rabu, 26 September 2007

CERPEN

MENGEJAR MIMPI

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang.
“Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.
Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak dua bulan lalu sedang pengeluaranku malah bertambah. Entah kesulitan apa yang dialami keluargaku sampai jatahku pun ikut dipotong. Aku tidak berani melayangkan surat keluhan. Jadinya, aku kebingungan sendiri di sini.
***
Seperti lagunya Franky S, hari ini terik seperti membakar tapak kakiku. Aku memandangi kakiku. Tapal sepatuku tampaknya mulai menipis. Tapi, sudahlah…aku tidak begitu memusingkannya. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting daripada membeli sepatu baru.
Aku memilih jalan kaki, walau di tengah terik begini. Jika naik becak atau ojek, setidaknya butuh tiga ribu-an. Aku tersenyum menertawai diri sendiri. Saking kerenya, untuk diri sendiri pun aku perhitungan banget.
Aku mempercepat langkahku. Dari jauh tampak Asri duduk di teras. Syukurlah dia ada di rumah. Perjalananku tidak sia-sia. Aku bela-belain ke rumahnya demi tugas dari dosen yang mesti diketik.
“Eh, Sam …masuk,” tegurnya begitu aku tiba di depan pagar.
Aku tersenyum. Dalam hati, aku sibuk mencari kata yang pas. Aku merasa tidak enak, hampir tiap hari aku kesini untuk mengetik.
“Ada tugas lagi..?” Tanya Asri akhirnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.
Asri mengajakku masuk ke kamarnya. Dengan ragu, kuikuti dari belakang. Asri lalu meninggalkanku setelah aku mulai sibuk di depan komputer.
“Mau minum, Sam?” Ia muncul lagi di depan pintu kamar. Kerongkonganku yang sejak tadi kering memaksaku mengangguk. Tak berapa lama, Asri kembali dengan dua gelas minuman dinginnya.
Setelah ketikanku selesai, kami duduk di teras menikmati kue kecil bikinan mamanya Asri.
“Terima kasih, Tante,” senyumku malu-malu menjawab tawaran mamanya Asri saat memintaku mencicipi kue.
Sementara Asri dengan seru bercerita tentang kesibukan barunya sebagai anggota multilevel marketing berikut janji-janji surga yang nantinya akan didapat, aku malah sibuk memikirkan cara mencari tambahan uang. Jika hanya bergantung dari kiriman orang tua rasanya tidak mungkin lagi.
“Menurutmu pekerjaan apa yang cocok buatku,” tanyaku memotong ceritanya.
“Tentu saja bukan MLM,” sambungku cepat sebelum Asri sempat menjawab. Ia sudah sering menawariku bergabung tapi berkali-kali kutolak. Bisnis seperti itu tidak cocok denganku. Aku tidak punya bakat merayu orang. Lagian, bisnis MLM butuh modal yang tidak sedikit.
Asri pun mulai membeberkan segala jenis pekerjaan yang memungkinkan dilakukan sambil kuliah, mulai dari penjaga toko part time hingga jadi guru private. Dengan berbagai dalih, semua tak mengundang minatku. Jadi penjaga toko? Bagaimana dengan kuliahku? Aku takut pemilik toko nantinya menuntut waktu yang lebih banyak. Guru private? Yang benar saja.... Belajar untuk kuliahku saja, aku sudah kewalahan. Apalagi jika mesti mengajar anaknya orang. Kayaknya aku nggak bakalan sanggup memikul tanggung jawab sebesar itu.
Hingga menjelang sore saat bersiap pulang, pembicaraan kami tak menghasilkan satu kesimpulan untuk membantuku.
***
Deringan weker memaksaku bangun. Aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudhu, kulirik weker yang menunjuk angka 6 dan 12.
“Telat lagi…,” gumamku.
Sehabis sembahyang, aku terdiam lama di atas sajadah.
“H-minus dua...,” lagi-lagi aku bergumam. Aku berharap lusa kiriman uangku sudah ada
Biasanya di hari minggu pagi, anak-anak seisi rumah kost-an ini rame-rame jalan menikmati udara pagi. Tapi kali ini aku malas ikut. Semalaman begadang membuat seluruh badanku lemas. Aku kembali berbaring, setelah mengunci kamar.
Pikiranku menerawang. Kutatap langit-pangit kamar yang catnya mulai usang. Kuliah memang impianku saat masih di SMU dulu. Saat itu, tak terpikirkan kesulitan-kesulitan yang bakal aku hadapi seperti sekarang.
Pandanganku beralih pada sebarisan semut yang panjang menuju kaleng biskuit tempatku menyimpan beras. Aku segera bangkit meraih sapu yang bersandar di dekat pintu.
Aku tidak jadi membongkar barisan rapi itu. Mataku tertumbuk pada seekor semut kecil yang susah payah menyeret sebutir beras. Seekor yang lain menggigit ujung beras yang satunya. Mungkin bermaksud membantu atau merebut butir beras itu, entah. Semut kecil itu kemudian berhasil mengangkat sendiri butir beras yang dua kali ukuran tubuhnya.
Sesaat aku tertegun. Pandanganku mengikuti semut kecil itu hingga keluar kamar. Seekor lagi berhenti dan menggerakkan kaki depannya di hadapanku seolah berkata,”Apa kau tak punya kerjaan lain selain mengamati kami!” Aku tersenyum sendiri. Kuputuskan menghabiskan pagi ini dengan membersihkan kamar.
Menjelang siang, pekerjaanku selesai. Kuhapus peluh di dahiku dengan punggung tangan. Barisan semut itu sudah tidak ada lagi, tapi bayangan semut kecil tadi belum hilang dari pikiranku.
Dibandingkan denganku, semut memang tidak ada apa-apanya. Tapi semut kecil itu sudah mengalahkanku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu dengan mengeluh dan mengeluh, tanpa melakukan apapun.
***
“Asri!” panggilku mengejar langkahnya yang terburu-buru.
“Hei! Tugas kalkulus-mu sudah selesai, Sam?” tanyanya begitu aku tiba di sampingnya. Aku mengangguk.
“Aku nyontek, dong....aku nggak sempat selesaikan. Kemarin aku mesti mengambil titipan barang dan mengantarkannya,” lanjutnya.
“Ini....” Aku menyerahkan beberapa lembar kertas tugasku yang kususun rapi semalam.
Aku prihatin dengan kesibukan Asri akhir-akhir ini. Tugas kuliahnya banyak terbengkalai demi mengejar pesanan.
“Asri...aku pikir waktumu terlalu banyak kau jatahkan untuk kegiatanmu di luar. Sebagai teman, aku tidak ingin kuliahmu berantakan. Nanti kau bakal menyesal...,” ucapku menasehatinya saat istirahat.
Asri hanya tersenyum menanggapiku. Seperti biasa, dengan diplomasinya ia berkilah,” Yaa...namanya juga usaha, butuh sedikit pengorbanan.”
“Lagian, aku bisa mengandalkanmu, kan?” senyumnya menggodaku.
Aku ikut tersenyum. Aku rasa ia menyindirku. Selama ini ia telah banyak memberiku saran untuk jalan keluar masalahku, tapi aku masih menimbang ini dan itu. Aku malah pernah disebutnya pengecut karena terlalu banyak pertimbangan sebelum memulai apapun.
Pembicaraan kami terpotong, seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Entah siapa, mungkin pelanggan baru.
“Aku ke sana dulu. Nanti temani aku ke pak Arsyad, ya...?”
“Untuk apa ?” tanyaku. Ia tak menjawab. Asri tampak serius berbicara dengan orang itu. Aku lantas duduk di depan kelas menunggunya.
Aku berjalan cepat mengikuti irama langkah Asri di sampingku. Jarak kelas ke kantor pak Arsyad memang cukup jauh. Sejak tadi Asri hanya diam. Pertanyaanku pun tidak digubrisnya.
“Siang, Pak,” sapanya saat tiba di depan kantor.
“Siang,” balas pak Arsyad yang duduk di belakang meja, “Masuk!”
Asri melangkah masuk. Aku mengekor di belakangnya.
“Begini pak..., bapak pernah bilang butuh seorang laboran lagi untuk membantu pegawai Lab di sini,” ucap Asri.
Aku memandangnya tak mengerti. Asri mau jadi Laboran? Maruk amat nih anak. Apa kesibukan di MLM-nya belum cukup. Ditambah dengan kerja di Lab...itu sama saja bunuh diri!
“Kamu bersedia? Tanya pak Arsyad sambil melepas kacamatanya.
“Bukan saya Pak, tapi teman saya.” Asri menunjukku. Mataku membelalak ke arahnya, ia cuma nyengir. Sialan!
Kamu mau?” tanya pak Arsyad lagi, kali ini dengan memandangiku.
“Tapi....” Aku agak ragu.
“Dia mau koq, Pak,” Asri memotong bicaraku.
“Saya ndak nanya kamu,” tegur pak Arsyad yang membuat Asri cengengesan.
Aku melirik Asri yang menatapku tajam.
“Saya...bersedia, Pak,” jawabku pasrah.
“Oke, tugasmu tidak sulit tapi juga tidak gampang. Kamu mesti berada di Lab sebelum praktikum mulai hingga praktikum benar-benar selesai,” jelasnya. Aku mengangguk.
“Besok kamu kesini untuk pengenalan alat-alat,” lanjutnya.
“Soal gaji...kita bicarakan besok...,” ujar pak Arsyad saat kami pamitan.
“Kau gila!” teriakku pada Asri saat berada di luar.
“Kau kira tugas seperti ini mudah!? Kenapa tidak tanya aku dulu....” Aku mencengkram lengannya.
“Dan kau akan memikirkannya seribu kali. Bagaimana jika begini dan begitu. Lalu kau tidak akan mengambil kesempatan ini. Iya kan?” Aku terdiam dan melepas cengkramanku.
“Jangan dipikirkan lagi, ini kesempatan bagus....”
“Ya sudah...aku duluan,” ucapnya mempercepat langkah dan meninggalkanku. Dia tampak terburu-buru.
Aku hanya diam.. Terbayang kesibukanku nanti melayani di Lab di sela waktu kuliahku. Entah apa aku bisa menjalaninya.
“Thanks!” teriakku kemudian. Asri melambaikan tangan tanpa menoleh.
Aku menghentikan langkah. Di depanku melintas seekor semut kecil dengan bawaannya. Aku tersenyum dan membiarkannya lewat.
“Aku juga bisa...,” ucapku. Beberapa orang menoleh dan memandang heran ke arahku.
Aku tersadar. Kulanjutkan langkah menuju kelas.
#selesai#

CERPEN

INVISIBLE GIRL

Aku duduk di depan TV sambil memegang bukuku. Ini Rabu malam. Ada serial baru yang kutunggu ditayangkan. Serial ini bercerita tentang seorang adik yang menjadi bahan percobaan kakaknya dan membuatnya bisa menghilang dan tak terlihat orang lain. Menjadikannya seorang Invisibel Man. Aku menyukai kisah seperti ini.
Meski besok pagi ada kuliahnya Pak Danang dan wajib hukumnya belajar sebelum mengikuti kuliahnya. Tapi aku tidak begitu peduli. Aku baru beranjak setelah acaranya selesai. Aku lalu menuju ke meja belajarku. Bagaimanapun aku tak mau jadi bulan-bulanan Pak Danang besok.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani aktivitas di kampus dalam kesendirian. Aku tidak bisa akrab dengan siapa pun. Itu sebabnya aku dinilai pendiam dan angkuh. Hal ini juga yang membuatku memilih tempat sepi untuk istirahat, seperti perpustakaan.
“Nia!” sebuah teriakan menghentikan langkahku saat akan memasuki perpustakaan. Ternyata Meta. Aku berbalik dan memberikan senyumku.
“Hai,” balasku Teman satu ini gencar mendekatiku dibanding teman sekelasku yang lain.
“Mau ke perpust? Aku ikut ya?” Tanpa menunggu jawabanku, dia menggandeng tanganku memasuki gedung perpustakaan. Aku agak risih diperlakukan seperti ini.
Meta termasuk orang yang beruntung. Ia cantik, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa pun. Semua orang mengenalnya. Mulai dari mahasiswa baru hingga dosen dan pegawai administrasi. Dibandingkan dengannya, aku tidak ada apa-apanya. Dia memiliki segalanya. Dia juga memiliki Sam….
“Mau cari buku apa?” Suara Meta membangunkanku dari lamunan.
“Tidak, aku kesini untuk istirahat.”
Dia beranjak menuju rak-rak buku dan mulai menelusuri judul-judul buku. Aku memperhatikan setiap langkahnya. Sesekali ia meraih satu buku dan dengan serius membuka lembaran halamannya. Aku tersenyum, pantas jika Sam menjatuhkan pilihan padanya.
Aku dan Sam kenal sejak SMU. Tentu saja aku punya banyak kenangan dengannya. Dan kenangan yang paling kusukai adalah saat kami pernah dekat atas dorongan teman-teman. Aku menyambutnya, meski aku tahu saat itu semua hanya pura-pura untuk membantu Sam memenangkan taruhannya.
Dan kami kembali dipertemukan di Universitas yang sama. Akulah yang mengenalkan Meta padanya. Dan tahu-tahu mereka sangat akrab dan aku kembali merasa tersisih.
“Ini buku bagus.” Suara Meta mengagetkanku lagi. Kulirik buku yang disodorkan padaku.
“Dasar bureng! Buku tebal begini dibilang menarik,” rutukku dalam hati. Bureng merupakan panggilan untuk seorang kutu buku. Dia pantas menyandang sebutan itu. Meski penampilannya tidak seperti kebanyakan yang digambarkan orang tentang seorang kutu buku. Meta tidak berkacamata dan sama sekali tidak norak.
“Gimana? Mau pinjam?” tawarnya. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Oke…kalo gitu, aku yang pinjam. Tapi aku titip di kartumu, ya? Kartuku tidak kubawa.”
Berjalan bersama Meta membuatku merasa tak terlihat oleh orang lain. Setiap orang yang berpapasan dengan kami menegurnya. Terkadang kami terhenti untuk ngobrol sebentar, maksudku dia yang mengobrol. Aku tidak pernah melibatkan diri dalam setiap pembicaraannya. Seperti saat ini, ia membuatku menunggu karena Pak Danang membicarakan sesuatu dengannya. Aku ikut menyimak. Pembicaraannya mengenai copy-an bahan kuliah atau semacamnya. Aku teringat si Invisible Man. Nasibku sama dengannya. Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Meta pun seperti lupa kalau aku ada.
***
Hari ini praktikum mulai berjalan lagi setelah terhenti karena libur. Aku berjalan tergesa menuju LAB. Sambil jalan, kuperiksa lagi kelengkapanku memastikan tidak ada alasan yang bisa membuat asisten Lab mengeleminasiku dan tidak mengikutkanku praktikum. Aku menoleh saat mendengar suara langkah terburu-buru seperti mengejarku. Ternyata Sam.
“Ada apa?” tanyaku begitu melihat raut mukanya cemas.
“Meta mana?” Senyumku kecut begitu mendengar nama yang disebutnya. Aku menggeleng. Wajahnya bertambah cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Kotak alatku dibawa olehnya,” ujarnya. Matanya mencari-cari ke arah jalan.
“Kau tidak menjemputnya?” Tanyaku. Sam menggeleng.
“Meta!” serunya tiba-tiba. Meta tergesa menghampiri kami.
“Sam, kotaknya masih di rumah. Kemarin aku menjenguk nenek dan menginap di sana, jadi….”
“Cepat! Kita ke rumahmu,” Sam memotong setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menarik tangan Meta dan berlalu dari hadapanku. Aku melanjutkan jalanku menuju Lab. Mudah-mudahan mereka tidak terlambat, gumamku.
Di dalam Lab aku tidak bisa berkonsentrasi. Kuarahkan pandanganku ke meja sebelah. Sam dan Meta belum kembali. Kutepis bayangan-bayangan buruk yang melintas. Hingga selesai praktikum mereka tidak muncul-muncul juga.
Aku keluar mencari mereka. Di depan Lab nampak teman-teman yang berkumpul membicarakan sesuatu dengan serius. Rasa ingin tahuku memaksaku mendekat. Aku tersentak. Sam dan Meta kecelakaan! Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan mereka? Susul menyusul pertanyaanku keluar. Mereka memandangiku seolah memastikan apa aku benar-benar khawatir. Tentu sajas aku khawatir, kesalku dalam hati. Merekalah yang dekat denganku selama satu semester ini. Apalagi ini menyangkut Sam.
Bersama yang lain aku menyusuri koridor rumah sakit. Suara langkah kami memenuhi udara koridor yang sebelumnya sepi. Dari jauh tampak Sam duduk di depan ruang ICU. Sam berdiri begitu melihat kami menghampirinya. Tangannya dibalut perban dan tampak beberapa memar di wajahnya.
“Meta mana?” tanyaku begitu tiba di depannya. Ia diam. Sam mengarahkan pandanganku ke dalam ruang ICU. Aku meraih baju khusus untuk masuk ruangan. Meta terlihat tak berdaya dengan selang-selang kecil di tubuhnya. Dia tertidur atau pingsan? Entah, aku tak bisa membedakannya.
Sementara mereka bergantian masuk, aku duduk menemani Sam. Dia terlihat sangat kacau. Dari kedua matanya nampak olehku kelelahan dan kesedihan bercampur jadi satu.
“Kau sudah hubungi orang tuanya?” tanyaku pelan.
“Ayahnya tiba nanti sore dan ibunya ke apotik menebus obat,” paparnya. Pandangannya menerawang. Aku mengerti kesedihannya. Sam tinggal sendiri. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia kecil. Hidupnya dibiayai pamannya. Tapi karena kesibukannya, Sam hampir tidak pernah melihat pamannya. Ini bagian hidup Sam yang tidak diketahui Meta. Bagian yang tidak pernah dibaginya dengan siapapun. Cerita yang hanya ia kisahkan padaku saat kami bersama dulu.
Tapi sekarang semua telah berbeda. Sam tidak bercerita apapun lagi padaku. Aku pun tidak bisa berbuat banyak. Sekarang di matanya, aku bukan siapa-siapa. Sahabat pun bukan.
Kampus kurasakan semakin sepi tanpa kehadiran Meta. Tanpa sikapnya yang kadang menjengkelkan jika memksaku menemaninya ke satu tempat ditambah Sam yang jarang masuk kampus. Dia kebanyakan di rumah sakit. Aku pun lebih sering ke sana. Meta sudah dipindahkan ke bagian perawatan. Aku dan Sam lebih sering bersama sekarang. Ke apotik untuk menebus obat atau sekedar menemaninya ngobrol. Ada rasa bersalah yang merambat pelan di hatiku saat menikmati setiap kebersamaan dengannya. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku, betapa aku senang dengan keadaan ini.
“Masih ingat yang ini ?” tanya Sam saat kami duduk berdua di koridor rumah sakit sambil mengacungkan harmonikanya ke arahku. Aku tersenyum mengangguk. Bagaimana aku bisa lupa, dulu benda ini selalu menemani kami. Sam sering meniupkan nada-nada lagu dengan harmonikanya.
“Ingat lagu ini….?” Aku mulai bersenandung. Sam mengiringi dengan harmonikanya. Untuk sesaat kami lupa berada dimana. Sampai seorang suster menepuk pundak Sam yang seketika menghentikan permainannya. Begitu susternya pergi, aku dan Sam tak bisa menahan tawa.
Kami terdiam lama. Kuperhatikan Sam yang menimang-nimang harmonikanya sambil memandangi tembok-tembok rumah sakit. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku berharap dia mengenang apa yang pernah kami lalui dulu seperti yang kulakukan saat ini. Tiba-tiba Sam tertawa geli. Muka bingung yang kuperlihatkan tidak juga menghentikan tawanya.
“Kenapa?”
“Aku ingat dulu ketika memintamu pura-pura jadi pacarku supaya menang taruhan…,” kenangnya di sela tawa. Aku ikut tertawa. Hambar.
“Nia….” Sam menoleh ke arahku. Ia menatapku seperti mencari sesuatu. Untuk sesaat aku terpaku.
“Saat itu….”
“Lucu… ya,” potongku melepaskan diri dari tatapannya lalu menyuguhkan senyumku yang terpaksa.
“Saat itu…kau tidak berura-pura, kan?” tatapannya belum juga melepaskanku. Aku tak bisa menghindar lagi.
“Kau…mencintaiku…?” Aku mengangguk lantas merutuki kebodohanku dalam hati.
“Sekarang…kau masih…?” Sam menatapku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku melihat harapan di matanya tapi pikiranku kutepis jauh-jauh.
“Harusnya aku bilang dari dulu….” Dia terdiam. Aku menunggu lalu lanjutnya,”Saat itu aku juga menyimpan harapan…." Sam kembali diam membiarkanku bergulat dengan pikiranku.
“Tapi sekarang semua telah berubah. Mungkin kau sudah mencintai orang lain,” cetusnya kemudian dengan senyum dipaksakan.
“Kau yang mencintai orang lain,” bisik hatiku. Dia sedang bimbang, itu yang kulihat dari matanya. Ia hanya dipenuhi kenangan-kenangan kami dulu. Kesepian dan kesendirian yang sama yang dialaminya dulu saat aku masuk di kehidupannya yang membuatnya bertingkah seperti ini, aku menghujani hatiku dengan pikiran-pikiran logis. Hanya satu orang yang memiliki hatinya. Yaitu Meta dan ia sekarang terbaring di dalam sana. Aku tidak mungkin mengambil keuntungan dari keadaan ini.
“Nia….” Sam memanggilku lirih.
“Meta….” Aku memotong sebelum ia melanjutkan kalimatnya tapi aku sendiri tak bisa melanjutkan bicaraku.
“Meta…dia orang yang kau cintai,” ucapku terbata.
“Tapi….”
Aku berdiri meninggalkannya. Kutepis keinginan agar dia mengejarku.
“Aku membutuhkanmu….” Sam meraih pundakku dari belakang. Sebuah erangan dari dalam kamar menghentikan kami. Sam menghambur masuk diikuti olehku.
“Sam….” Tangan Meta menggapai. Sam meraihnya.
“Aku di sini,” bisiknya.
Aku melangkah meninggalkan ruangan. Dia orang yang kau butuhkan, Sam. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi kau tidak akan sendiri, Meta yang akan menemanimu.
Hari ini Meta melengkapi kemenangannya. Ah, tidak, aku yang melengkapi kekalahanku. Tapi apa bedanya. Lagipula waktu akan terus berjalan tanpa peduli hari ini hatiku patah.

***

CERPEN

NYANYIAN PUNGGUK

I never found the words to say
You’re the one I think about each day
And I know no matter where life takes me too
A part of me will always be with you…


Sayup-sayup suara S club7 memenuhi udara di kamar Tina. Pikirannya menerawang. Keputusan ayahnya untuk pindah ke kota ini sempat tidak di setujuinya, meski pada akhirnya dia menurut juga.
Kepindahannya ke kota ini harusnya membuat ia senang. Tapi ia takut, takut menumbuhkan harapan yang seharusnya sudah mati.
Seperti hari kemarin, Tina hanya menghabiskan waktu di kamar. Sekolahnya masih libur. Lagipula, ia tak ingin membebani pikirannya dengan masalah perkenalannya sebagai siswa baru atau hal lainnya.
Tina memejamkan mata beberapa saat. Sosoknya muncul lagi, meski Tina susah payah menghapusnya.
“Iman….” Sebuah nama terucap lirih di bibirnya.
Iman dikenalnya dari chating. Tina menyukai puisi-puisi yang selalu diselipkan Iman tiap kali chating. Mereka lalu janjian ketemu dan sering menghabiskan waktu berdua. Tak pernah terlintas, kebersamaan mereka hanya seumur jagung.
Tina sering mendengar cerita keluarga Iman yang broken. Bahkan Iman sering mengeluh tidak tahan tinggal bersama orang tuanya yang saban hari bertengkar. Tapi ia tak pernah menduga Iman akan pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untuknya. Ia lalu berusaha bicara dengan keluarganya, tapi yang ditemuinya hanyalah sepasang orang tua yang asyik bertengkar mulut.
Seminggu, dua minggu, Tina masih berharap Iman akan menghubunginya. Tapi ternyata tidak. Hingga pada hari itu, sepulang sekolah, Tina mendapati selembar surat di atas meja belajarnya. Perasaannya tak menentu setelah ia melihat nama pengirimnya.

Aku minta maaf. Jangan menungguku, aku tidak akan pernah kembali.Maaf telah melibatkanmu dalam cerita hidupku.
Iman


Iman tak menulis lengkap alamatnya. Hanya kotanya.
Makassar? Kenapa dia bisa sampai sejauh itu? Berbagai pertanyaan membayang saat itu, dan masih membekas hingga sekarang.
Berada di kota yang sama, membuatnya makin sedih. Sedikit demi sedikit Tina mencoba melupakannya. Meski terkadang, ia masih celingukan. Memandangi wajah tiap orang saat berada di Mall atau di jalan. Berharap wajah Iman akan ditemuinya.
***
Suara riuh terdengar dari luar. Tina melewatkan waktu istirahatnya dalam kelas. Sejak tadi, Leni, teman sebangkunya, gencar minta ditemani ke kantin. Tapi ia malas bergerak hari ini.
Ia kemudian menutup Harry Potter yang sedari tadi dibacanya. Tina menyandarkan punggungnya. Ia menoleh ke sudut ruangan setelah menyadari dirinya tidak sendiri.
Tina mengamati cowok yang sedari tadi sibuk dengan bacaannya juga. Ia tidak bergeming dari posisinya. Namanya Anto. Dibandingkan dirinya, Anto lebih pendiam dan tidak bergaul dengan siapapun. Tina belum pernah melihatnya bicara akrab dengan seseorang di sekolah ini.
Tina berdiri dari duduknya. Ia memutuskan menyusul Leni ke kantin. Tina berjalan melewati anak itu, tapi sedikitpun ia tak mengalihkan pandangannya dari buku.
***
Hari-hari yang dilewatinya di sekolah membantunya melupakan kesedihannya. Tina mulai menyapa setiap orang dengan senyumnya. Seperti yang dilakukannya pagi ini. Kemudian matanya berhenti di satu bangku yang kosong. Ini sudah hari ketiga Anto tidak masuk tanpa surat pemberitahuan.
“Eh, kamu tahu nggak apa yang terjadi dengan anak itu?” bisiknya pada Leni. Leni mengikuti pandangannya ke arah bangku yang kosong. Leni tak menjawab, malah memandangnya heran.
“Kamu yang pertama menanyakannya,” ucapnya. Tina terdiam. Memang kelas ini tidak mempedulikannya. Dia hadir atau tidak, sama saja.
Bel istirahat berdering. Ajakan Leni ke kantin kembali ditolaknya. Leni berlalu dengan wajah cemberut.
“Lain kali … deh aku yang traktir,” begitu ucap Tina.
Ia punya rencana lain. Ia bergegas ke ruang Tata Usaha. Waktu istirahat tersisa hanya 15 menit.
Dengan mudah Tina memperoleh alamat Anto. Apalagi pak Darma, pegawai Tata Usaha ikut membantunya. Tina lalu menunjukkannya ke Leni.
“Ini alamat Anto. Kita ke rumahnya, yuk,” ajaknya.
“Hanya kita berdua?” Tanya Leni.
“Kau boleh ajak yang lain.”
Leni mengedarkan pandangannya ke kelas. Tampak masing-masing larut dengan kesibukannya. Ada yang ngobrol di sudut kelas, sebagian lain sibuk mengerjakan tugas yang mestinya dikerja di rumah. Leni menggeleng,”Kita pergi berdua saja.”
***
Di koridor Rumah Sakit tampak Tina dan Leni celingukan mencari nomor kamar yang didapatnya dari tetangga Anto. Dari tetangganya itu, mereka tahu akan kecelakaan yang menimpa ayah Anto.
Anto berdiri menyambut begitu melihat kedatangan temannya. Setelah berbasa-basi dengan ayahnya yang mulai membaik, Leni bertanya rinci kejadiannya pada Anto. Anto menjawab dengan kikuk. Ini pertama kalinya Leni mengajaknya bicara. Tina yang duduk di luar tersenyum melihat mereka berdua ngobrol.
Pandangan Tina beralih ke kamar sebelah yang gordennya setengah terbuka. Seseorang dari jendela mengamatinya. Orang itu membuang muka, saat mata mereka berpapasan. Tina berusaha mengenali wajah yang sesaat kemudian menghilang. Meski sesaat, mata itu seolah bercerita banyak kepadanya. “Aku kenal dia dimana ya…,” batin Tina bertanya-tanya.
***
Dengan bantuan tongkatnya, ia menyeret kakinya untuk tetap melangkah. Kaki kirinya lumpuh dan tumbuh tidak sempurna. Kecelakaan yang dialaminya saat kecil merenggut kesempurnaan langkahnya dan perlahan-lahan memupus kepercayaan dirinya.
Dia sudah sangat lelah hari ini. Ia kemudian duduk besandar di depan apotik, menunggu namanya dipanggil. Hari ini antriannya banyak.
Pikirannya berkelana. Dua bulan lebih, ia menunggui adiknya di sini. Kecelakaan yang menimpa adiknya di kota ini memaksanya pindah. Senyumnya sedih saat mengingat ia berbisik pada adiknya tadi, “Ibu kesini tapi hanya sebentar. Bapak juga.” Dia tidak memberi tahu, bapak dan ibunya bertengkar lagi saat mereka bertemu. Adiknya pasti sedih jika mendengarnya.
Ia memejamkan mata, pikirannya terganggu sosok wajah yang dikenalinya dari balik jendela tadi.
“Kenapa dia bisa ada di kota ini? Apa aku tak salah lihat?” galaunya.
Senyumya masih sama, gumamnya. Ia menunduk memandang kakinya, “Aku tak berhak mencintainya,” desisnya.

Tina mengamati dari kejauhan sambil memegang sebuah buku. Cowok itu tak sengaja menjatuhkan sebuah buku yang kini berada di tangannya. Tina berusaha mengejar saat melihat cowok itu beranjak, tapi ia keburu menghilang di tikungan.
Tina kembali ke ruang rawat dan mengamti jendela dari ruang sebelah. Berharap cowok tadi akan ditemuinya untuk mengembalikan bukunya.
Perhatiannya beralih ke buku itu. Seperti buku harian. Tina membuka halaman pertama. Hatinya berdetak lebih cepat saat mengenali sebait tulisan di sana.

Dengarkan pungguk ini bernyanyi, kau rembulan di langit malamku.
Takkan memintamu menemaniku di bumi. Tetaplah di atas sana
Bersama gemerlapnya bintang-bintang.


“Iman…,” desisnya. Nama itu muncul lagi. Dengan tak sabar dibukanya lembar demi lembar.

Aku kenal dengannya hari ini. Di dunia maya, tentunya. Sebab jika dia melihatku, dia akan membuang muka tanpa ingin tahu namaku. Seperti yang lain.
Dia menyukai puisiku. Itu yang dikatakannya. Aku mulai jatuh cinta. Tapi tak mungkin ia melihatku dengan keadaanku yang seperti ini.


Di lembar lain tertulis

Dia mendesak ingin bertemu. Ya, aku akan menemuinya hari ini, dengan wujud adikku.

Kening Tina berkerut, gelisah menyusup ke hatinya.

Aku tak bisa mengendalikan keadaan lagi. Iman makin jauh dari pantauanku, dan dia pun mulai jatuh cinta padanya.

Tulisan berikutnya membuat Tina membelalak kaget.

Iman harus belajar mencintai dengan caranya sendiri. Aku takkan membantunya membuat puisi lagi. Aku sendiri lelah dengan skenario ini. Dia mencintai Iman, bukan aku.

Tina berlari ke kamar sebelah. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong. Seorang suster menghampirinya.
“Kami ikut berduka. Jenazahnya baru saja dibawa, keluarganya?” Tina menggeleng lemah.
Suster menjawab semua pertanyaannya yang beruntun. Tina terpaku, Iman benar-benar telah pergi.
“Sebentar kakaknya akan ke sini memberesi barang. Ditunggu saja,” ujar suster itu.
“Tidak, aku cuma ingin menyerahkan ini…milik kakaknya”.
Tina berusaha menguasai diri. Langkahnya gontai menemui Leni dan Anto yang kebingungan mencarinya.
***
“Ini….” Anto menyodorkan selembar kertas terlipat. Tina memandangnya tak mengerti.
“Tetangga kamar di RS kemarin bertanya banyak tentang kamu. Dia menitip ini,” jelasnya.

Aku berdosa besar. Dulu akulah yang menulis surat untukmu dan bilang, Iman takkan pernah kembali. Dia memang takkan pernah kembali. Aku bersalah pada kalian. Maaf.
Tian


“Tian…Bastian permana…,” lirihnya mengingat nama yang tertulis di sampul buku kemarin.
##***##
SELESAI

MALU

Kemarin saat berada di depan kelas bersama teman-teman, seorang teman lama yang pernah sangat akrab lewat. Dengan berbekal alasan itulah, aku menegurnya dan mengucapkan salam.
Tapi saat itu ia memang tampak terburu-buru (aku tidak sedang berusaha menghibur diri…)sehingga tidak mendengarku (mungkin!) dan ia pun berlalu bagai seorang kafilah (saat itu, aku sama sekali tidak menggonggong!)
Aku malu sendiri dan berharap aku sendirian di tempat itu pada saat itu. Tapi jelas tidak mungkin! (di awal cerita kan sudah kuterangkan kalau aku bersama teman-teman dan kalau settingnya diubah-ubah, cerita ini terkesan cuma isapan jempol kan?). Jadilah aku bahan tertawaan di sana. Meski aku tahu, saat itu mereka hanya bercanda tapi diam-diam ada sedikit goresan dan hatiku sedikit mengomel (hanya sedikit…). Lalu mulai saat itu aku tidak respek lagi pada temanku itu dan berhati-hati jika ingin menegur orang (rugi dong kalo malunya berulang karena hal yang sama…). Tapi, salahnya aku mulai menjauhi semua (…sepertinya kekecewaanku berdampak parah). Akibatnya aku dinilai sombong. Aku pun menghindar dari tempat berkumpul (pokoknya…aku merasa yakin bisa melakukan semuanya sendiri)
Pada saat benar-benar sendiri itulah, kadang dari kejauhan aku mengintip tawa teman-temanku yang berkumpul (memang tidak enak sendiri…)lalu aku mulai flashback(..bahasa canggih..!) dan thinking kenapa aku bisa sampai sejauh ini.
“Ada kuliah?” tegur seseorang setelah memberikan senyumnya. Aku mengangguk (sedikit kaget…Ia teman yang kujadikan pemeran antagonis di cerita ini). Setelah menemaniku ngobrol sebentar ia pun berlalu (tapi kali ini bukan sebagai kafilah lagi…)
Aku malu sendiri (maluu…sekali…). Bagaimana tidak?! Selama hampir setahun (kena lu…saya bohongi, tidak sampai selama itu koq) saya menenggelamkan diri dalam kebodohan (gglek…gglek…gglek..).

Aku bercermin dan aku maluu.. sekalii! Aku sendiri tidak sedikit mengecewakan orang. Tapi baru kecewa sedikit, langsung ambil tindakan seolah menghukum orang-orang padahal nyatanya diri sendiri yang terhukum.
Ini namanya adil, orang yang meludah ke atas akan jatuh ke wajahnya sendiri (ini sih…gravitasi namanya…!)

Kamis, 13 September 2007

jangan tanyakan arti setetes pada samudera

jangan tanyakan arti setetes pada samudera
tapi bertanyalah pada gurun dibawah terik matahari

jangan bicarakan sesaat
ketika embun dan matahari mencoba bersahabat
ketika biru menjadi penguasa angkasa
dan angin menebar cinta

bicaralah pada senja

Bertanyalah pada laut
mengapa ia begitu setia menunggu

mks, august 14th 07
aku tidak pernah meletakkan percayaku di tangan dunia

jika matahari yang bercahaya dan bulan yang bertahta pun adalah fatamorgana
bagaimana mungkin terang menjadi abadi?

jika dunia sekedar panggung sandiwara
dan hidup tak lebih dari dialog dan peran
maka siapakah pemilik kebenaran sejati
selain Sang Sutradara?

aku tidak ingin hidup dengan denting denting yang tak kumengerti iramanya
maka kupilih mematikan hati
mengajaknya sunyi dari denyutnya

mks, 13th august 2007
suatu hari kau akan menumpukan berat itu
seperti kau gantungkan harapmu hari ini

suatu saat aku akan menjadi pilarmu
seperti saat ini aku berdiri begitu kokoh karenamu

suatu saat aku yang akan menuntun langkah tertatihmu
seperti kau saat ini berdiri di depanku
menggagahkan diri demi jalanku

suatu hari nanti,
akulah langit biru yang kau tatap hari ini

jangan menghitung waktu hingga saat itu tiba
lakukan saja seadanya
seperti aku yang akan menerima
apapun adanya.

tamalate, 02 des 06
sungguh sebuah perjalanan yang panjang
waktu yang merajut hatiku
seluas langit kini

masihkah biru tersisa
ketika bianglala mulai menjingga
dan awan membendung luapan kisah

aku telah begitu yakin
hari ini akan tiba
hujan yang turun
menghapus panas bertahun-tahun
maros, 13 Juli 2007
Aku berharap akan ada alasan yang lebih abadi
untuk kita bersama
selain cinta
Akan ada yang terus memaksaku mengingatmu
selain rindu
Ada indah yang terus bersembunyi
dan kita terus mencari

Aku berharap akan ada yang membuat kita terus hidup
dari sekedar nafas dan jantung yang berdetak

Andai pun sesaat itu lebih indah, aku berharap
ada yang lebih lama dari selama-lamanya.

mks, 12 agustus 2007

semut

Pernah melihat film seperti The bug’s life atau Antz?atau film sejenis yang berkisah bagaimana kehidupan semut? Yang menjawab pernah, pastilah paham betul sistem kehidupan makhluk kecil mengagumkan seperti yang diceritakan dalam film-film tersebut. Yang menjawab belum pun, sedikit banyak tahulah bagaimana hidup semut.

Mereka memang makhluk mengagumkan, bukan hanya kehidupan sosial mereka yang jauh lebih manusiawi daripada manusia sendiri. Sementara notabenenya ‘sosial’ adalah predikat paten milik manusia.

Saya sering melihat semut-semut yang berbaris, berjalan beriring. Tidak ada yang saling menyalip, tanpa saling mendahului. Jika berpapasan, mereka saling menyapa dan melakukan toss dengan saling menyentuhkan antena atau kedua kaki depan mereka. Semuanya begitu teratur, rapi, menunggu gilirannya ‘berjalan’. Jika ada yang tiba-tiba terhenti, mungkin karena sakit perut, atau tiba-tiba pusing di tengah jalan, salah satu, bahkan lebih, dari mereka akan berhenti. Barisan di belakangnya ikut berhenti. Sambil mengangguk-anggukkan kepala dan menggerakkan antena serta kedua ‘tangan’nya. Mereka seolah bertanya,”Ada apa?” atau “Are you OK?”

Sungguh jauh berbeda jika pemandangannya kita alihkan ke arah jalan-jalan yang dipenuhi manusia-manusia dengan kendaraannya masing-masing, saling berpacu berusaha menjadi yang tercepat, menjadi yang paling duluan sampai di tujuan. Jika tiba-tiba iring-iringan kendaraan itu terhenti karena sesuatu hal apalagi karena ada yang ‘celaka’ terjatuh dari tumpangannya maka mulut-mulut mereka mengeluarkan bermacam-macam suara. Mulai dari keluhan, umpatan, bahkan ada yang mengutuk karena akan mengulur waktu perjalanan mereka untuk sampai di tujuan beberapa menit. Beberapa menit! Mereka bahkan tidak sudi kehilangan beberapa menit untuk sekedar singgah atau sekedar bertanya,”Ada apa?” Beberapa dari mereka menurunkan kaca, melongok untuk melihat apa yang terjadi lalu menutup kembali kaca sambil terus membunyikan klakson.

Soal kedisiplinan, semut jagonya. Lihat saja bagaimana mereka selalu berbaris, berjalan, mengangkut. Semua bekerja sesuai tugas tanpa ada keluhan ataupun protes. Semuanya tepat waktu, tak ada yang duduk-duduk saja berleha-leha sementara yang lainnya bekerja keras. Mereka begitu patuh pada peraturan-peraturan yang telah ada jauh sebelum mereka ada. Mereka tidak perlu membuat kesepakatan agar menaati peraturan. Mereka tidak memerlukan rapat-rapat untuk membuat suatu peraturan yang memungkinkan diterima berbagai pihak. Peraturan tersebut tidak perlu dirubah, direvisi, ataupun direshuffle.

Dalam film The bug’s life diperlihatkan, dengan rekayasa tentunya, bagaimana semut-semut itu begitu lahir telah ditentukan tugas dan posisinya masing-masing. Ada yang tertakdir menjadi pekerja ataupun prajurit selama umur hidupnya, sedangkan betinanya menjadi calon-calon ratu yang bertanggung jawab terhadap regenerasi semut. Pada film itu, penentuan tugas tersebut berdasarkan ukuran dan kekuatan fisik. Lucunya, seperti kebanyakan manusia, ada seorang (e … seekor) semut, merasa tidak mendapat tugas sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Setiap saat ia berusaha menunjukkan bahwa tugas yang dimilikinya seharusnya bukan semut pekerja tetapi semut prajurit, meski dengan fisik yang lebih pantas sebagai pekerja. Selanjutnya, diceritakan perjuangan semut tersebut untuk medapat pengakuan dari kaumnya (mereka menyebutnya koloni).
Pada akhirnya, ia berhasil melaksanakan sebuah tugas penting dan menyelamatkan seluruh koloni. Ia pun mendapat kehormatan sebagai pahlawan koloni tersebut. Bagaimana akhirnya? Apa semut pahlawan tersebut serta merta naik pangkat dari semut pekerja menjadi semut prajurit?
Dia mungkin berhasil menjadi pahlawan yang dipuja-puja seluruh koloni tetapi ia tetaplah semut dengan tugasnya sebagai pekerja, mengumpulkan makanan untuk seluruh koloni semutnya. Suatu tugas yang sama hebatnya bagi semut prajurit maupun semut betina.

Terkadang kita lupa apa peran kita di dunia ini dan untuk apa kita berada di tempat kita sekarang.
Terkadang kita menganggap rendah posisi kita sekarang lalu melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang sebenarnya bukan untuk kita.
Terkadang kita menganggap telah berada di tempat tertinggi lalu dengan mendongak kita pandangi mereka-mereka yang kita anggap di bawah kita.
Terkadang…

Malu aku malu pada semut merah, yang berbaris di dinding…


Maros, 14 februari 2007

REINKARNASI KEN AROK

setiap hari Ken Arok bereinkarnasi
kemarin menjadi birokrat yang menelan kawan sendiri
lain hari beraksi sebagai pengacara hipokrit, merebut palu hakim

hari ini Ken Arok kembali hadir,
bukan dengan sebilah kerisnya, merebut Ken Dedes dan tahta singosari
tetapi dengan seragam dan pentungannya
menghisap darah rakyat, menampungnya di tangki-tangki besar

para ken arok
terus terlahir dan menikam
yang ditikamnya ibu pertiwi

mungkin besok Ken Arok lahir sebagai raja
menikam rakyat dari belakang

GEMURUHKU

Pada laut tenang, gemuruh ombaklah benciku
Pada semilir angin, badai topanlah amarahku
Pada langit biru, titik hujanlah tangisanku
Pada diamnya gunung tinggi, gelegarlah teriakan dendamku

Dan pada saatnya kugetarkan bumi
Reruntuhanlah pertanda kesalku

Pada sahabatku Angin
Kau datangkanlah badai hujan, tinggikan ombak di lautan
Suarakan letusan gunung
Biarkan mengisi seluruh ruang udara di bumi

Sebab selain diam, aku tak punya daya
setiap detik hidupku adalah keajaibanmu
seperti langit malam yang kau telah jadikan misteri

gelap adalah benteng untukku bersembunyi
seperti hening yang mendiamkan teriakanteriakan lukaku
seperti sunyi kau jadikan sayap bagi jiwaku

meski surya untukku adalah semburat harap darimu
seperti percik apimu membelah hamparan langit gelap
seperti pagi tanpa awan tanpa hitam

mimpi bagiku adalah karuniamu
serupa berlari menghirup hamparan ilalang
kau biarkan jiwaku melayang di langit tenang tanpa deru

dan cinta untukku adalah bahasamu
mengetuk hati dalam hening
menyapa setiap detak kalbu
hidupku adalah goresanmu
cerita yang kau indahkan untuk kujalani
perjalanan yang terangkai
sempurna indahnya hingga akhir




Bumi Allah, Muharram, 1426 H

Rabu, 12 September 2007

Bintang biru

Setiap bintang memiliki cahaya yang dipancarkannya dengan warna tersendiri. Perbedaan warna pada bintang, salah satunya, disebabkan oleh perbedaan suhu bintang tersebut. Misalnya, bintang yang berwarna kuning bersuhu lebih tinggi daripada bintang yang berwarna merah.

Matahari, salah satu bintang yang menjadi sumber energi bumi merupakan bintang yang berwarna kuning. Bintang lain yang juga berwarna kuning adalah Capella pad rasi Auriga. Sedangkan bintang yang berwarna merah adalah Antares pada rasi scorpion.

Selain kuning dan merah, terdapat bintang yang lebih panas dari matahari yaitu bintang yang berwarna putih seperti bintang Sirius pada rasi Canis Mayor dan bintang Vega pada rasi Lyra.

Bintang yang paling paling panas berwarna kebiru-biruan seperti bintang Spica pada rasi virgo.

(dikutip dari ilmu pengetahuan bumi dan antariksa,Moh.Ma’mur Tanudidjaja)
TEMAN adalah ….
Saya sudah lama ingin menulis sebuah daftar yang berisi semua nama teman-teman yang selama ini saya kenal dan mengenal saya. Mulai dari yang sangat dekat hingga yang tidak begitu dekat. Kemudian saya membeli buku alamat untuk mengisinya dengan nama-nama disertai alamat teman-teman saya tersebut. Tetapi saya kemudian sadar lalu menertawai diri saya sendiri. Buku tersebut tebalnya lebih seratus halaman dan sampai saat ini hanya sampai terisi dua setengah halaman saja. Yah, bisa di bilang saya termasuk orang yang miskin jumlah teman tetapi saya tidak pernah merasa miskin dalam persahabatan, kenapa? Karena satu atau dua teman yang bersama saya selama ini telah banyak memberi warna-warni dalam hidup saya, telah banyak memperkaya jiwa saya. Saya tidak pernah kekurangan bantuan dan pertolongan. Melalui mereka (yang jumlahnya tidak banyak itu) ALLAH telah memberi saya jauh lebih banyak dari mereka yang memiliki sangat banyak nama-nama teman dan relasi.
Tetapi saya tetap ingin menulis mereka, sekedar sebagai pengingat. Karena diantara teman-teman saya itu telah banyak yang jauh dan tidak pernah lagi bisa saya temui dikarenakan kondisi sehingga menjadikan kami berbeda dimensi ruang dan waktu. Saya takut menjadi lupa dan kehilangan mereka, lalu saya memutuskan untuk menulis sendiri, bukan nama tetapi hal yang membuat saya selalu ingat kepada mereka, satu persatu. Lalu bermunculanlah di kepala saya uraian-uraian mengenai apa itu teman versi saya berdasarkan karakter mereka dan apa yang telah saya peroleh dari teman-teman saya tersebut satu persatu.

-Teman adalah orang yang selalu membuatmu tersenyum setiap mengingatnya.
-Teman adalah orang yang membuatmu bersemangat berangkat ke sekolah atau kuliah karena ingin bertemu dengan mereka.
-Teman adalah orang yang mengajakmu tertawa ketika ia bahagia, tetapi tidak ingin melibatkanmu dalam masalah-masalahnya.
-Teman adalah orang yang tetap ada disampingmu saat kamu dalam masalah tanpa berbicara sedikitpun dan menunggu sampai kamu membicarakan masalahmu.
-Teman adalah orang yang tidak akan berusaha membuatmu tertawa ketika melihat mukamu berlipat tetapi memberimu lebih banyak ruang untuk bernafas dan lebih banyak waktu untuk berfikir.
-Teman adalah orang yang tetap mengingatmu saat lebih banyak orang yang telah melupakanmu.
-Teman adalah orang yang selalu terbuka dan bercerita banyak tentang dirinya dan tidak memaksamu membuka diri padanya.
-Teman adalah orang yang selalu menekanmu berbuat lebih baik saat kamu kehilangan semangat.
-Teman adalah orang yang mencari dan menelponmu ketika kamu tidak masuk sekolah atau kuliah.
-Teman adalah orang yang tetap menerimamu dalam kelompok belajarnya ketika semuanya telah memiliki kelompok masing-masing dan melupakanmu.
-Teman adalah orang yang selalu berusaha meyakinkanmu bahwa kamu berarti.
-Teman adalah orang yang terlihat selalu menolakmu bersamanya tetapi malah selalu bersamamu dalam berbagai hal (kelompok belajar, teman sebangku, teman seperjalanan pulang, dsb)
-Teman adalah orang yang tertawa di kelas bersamamu hingga menerima hukuman dari guru bersama-sama.
-Teman adalah orang yang membela kepentinganmu saat yang lainnya meremehkanmu.
-Teman adalah tempat untuk lari dari kebosanan.
-Teman adalah orang yang merelakan kamarnya untuk kamu acak-acak ketika kamu tidak nyaman berada dalam kamar/rumahmu.
-Teman adalah orang yang kamu sadari selalu memanfaatkanmu tapi kamu selalu tak berdaya menolaknya.
-Teman adalah orang yang mengangkat beban dari pundakmu tanpa merasa dibebani.
-Teman adalah orang yang menyakitimu dengan kejujurannya karena tidak ingin memukulmu dari belakang.
-Teman adalah orang yang tidak kamu kenal tapi tiba-tiba datang membebaskanmu dari masalah saat mereka yang kamu kenal tidak ada untuk membantu.
-Teman adalah orang yang pertama mendatangimu dan menanyakan namamu saat hari pertama sekolah.
-Teman adalah orang yang selalu bisa memaafkanmu.

Dibalik poin-poin tersebut, tersimpan nama-nama mereka yang selalu saya simpan dalam hati.
Seiring waktu berjalan, tidak menutup kemungkinan poin-poin tersebut bertambah.

Bagi kalian yang memiliki lebih banyak teman, pastilah bisa lebih banyak menguraikan tentang apa itu teman sesuai versi kalian masing-masing.

PROLOG

Assalamu alaikum,

Ini adalah lembaran pertama blog saya. Salam kenal untuk semua teman yang telah bergabung.

Saya memberi nama blog ini bintang biru, karena kekaguman saya pada benda kecil yang bercahaya di langit malam (terlihat seperti itu dalam pandangan saya walau saya sadar sesadar-sadarnya jika ukuran sebenarnya dari benda kecil ini sanggup membuat mata saya membelalak). Bagi saya, bintang adalah sesuatu yang begitu indah meski tunggal maupun jamak. Jika sendirian ia seumpama cahaya kecil kesepian tapi tetap bisa menjadi kawan bagi siapapun yang kesepian dengan hanya memandanginya (percaya deh…), dan jika ia berjamaah (maksudnya borongan dengan teman-temannya)…Subhanallah…hamparan ladang cahaya…ciptaanNYa yang maha sempurna…

Kenapa biru? Entah pesona apa yang dimiliki oleh warna ini sehingga saya telah menyukainya sejak saya mulai mengenal warna (hehe..berlebihan kayaknya…)

Dan belakangan saya tahu bahwa warna biru pada bintang menunjukkan bahwa bintang tersebut paling panas dan paling terang diantara teman-temannya yang lain, makin menguatkan keyakinan saya bahwa bintang biru adalah nama yang istimewa (setidaknya bagi saya).

Saya telah banyak menggunakan nama ini dalam segala hal. Seperti password (hehe..ketahuan), nama email, nama samaran waktu chatting (ehm..ehm) dan lain-lain.

Pernah saya membuka sebuah blog dan menamakannya bintang biru tapi mungkin karena kebodohan dan kegatekan saya hingga saat saya membuka kembali blog saya tersebut (beberapa minggu setelahnya), blog tersebut sudah menjadi milik orang lain (seseorang telah mendaftar dengan nama yang sama sehingga blog saya mungkin ketutup…mungkin, nggak ngerti juga…).

Ada banyak kekurangan dalam blog ini. Maklum, selain hal beginian masih baru buat saya, saya termasuk gatek dan tidak begitu mengerti hal-hal seperti ini (tuh… kan untuk menggambarkan ketidakmengertiannya saja, saya bingung…).

Akhir kata, semoga banyak manfaat yang bisa didapatkan dari blog ini dan semoga kita dapat berbagi informasi melalui blog ini sembari saya menantikan sumbang saran demi kemaslahatan umat manusia…eh salah…demi kebaikan blog ini ke depannya amin.


Makassar, awal 2007


Penulis/pemilik blog