Jumat, 25 Januari 2008

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari (3)

Pagi ini tampak air jatuh satu-satu dari langit. Tidak banyak. Hanya sekumpulan tetes-tetes kecil yang kemudian membasahi permukaan tanah. Lalu bau tanah pun menyebar menyengat hidung. Beberapa saat kemudian, secara perlahan tetes-tetes itu berhenti seperti sebuah film yang diakhiri dengan gerak slow motion. Awan putih lalu mengembang tipis menutupi birunya langit. Perlahan terang bergerak pelan menyapu gelap. Tapi dia belum nampak juga. kemana dia pada saat seperti ini?

Berjam-jam aku duduk menunggu sampai akhirnya letih memaksaku untuk meninggalkan tempat itu. Tempat di mana dia biasa melihatku dan ‘mengajariku’ banyak hal.
Dia disana, aku yakin itu. Tapi dimana, aku tidak begitu tahu pasti. Mungkin saat ini dia tengah sibuk dengan orang lain yang juga membutuhkan dan ingin mendengarnya. Dia di sana, hatiku berbisik lagi. Entah untuk meyakinkan siapa.

Simpan keyakinan itu, sebuah suara berdetak.
Untuk apa? Aku berpaling tapi tak menemukan sosok apapun.

Untuk memberimu alasan bangun dan membuka matamu di pagi hari
Untuk membuatmu berani berdiri dan menggerakkan kakimu melangkah ke tempat ini lagi
Untuk…


Ada banyak lagi yang terdengar tapi tidak aku pedulikan lagi. Aku bergegas pergi sementara hatiku berdetak penuh gairah.

Kita butuh alasan untuk melakukan sesuatu hal. Alasan yang membuat kita kadang rela mengucurkan keringat sampai darah. Alasan yang terkadang sepele bagi orang lain tapi begitu berarti buat kita. Dan semua alasan itulah yang disebutnya harapan. Katanya, orang yang hidup tanpa alasan sama saja hidup tanpa harapan. Kita memiliki harapan dan mimpi. Dan itu cukup untuk membuat kita bangun meski jatuh berkali-kali.

Terima kasih, ucapku tanpa sadar.