Minggu, 27 April 2008

Ujian Nasional, Akhir?

Ujian Nasional sudah selesai. Tiga hari untuk menentukan hasil belajar selama tiga tahun. Hasilnya, beberapa Kepala Sekolah di tahan. Guru-guru yang mengawas ujian ikut di seret. Sindikat penjualan kunci jawaban terbongkar. Oknum Mahasiswa(???!!!) ikut terlibat. Bahkan, ada kemungkinan petinggi-petinggi pendidikan ikut terlibat. Beberapa siswa sudah merayakannya dengan aksi coret-coret baju, padahal penentuan kelulusan masih sangat jauh. UAS saja belum digelar. Duh, ada apa dengan bangsa ini?

Padahal, pengawalan dan pengawasan UN sudah begitu ketatnya. Menyamai pengawalan dan pengawasan pemilu. Melibatkan Polisi, tenaga-tenaga pemantau Independen dan LSM. Distribusi soal dan lembar jawaban pun dikawal dengan ketat. Jumlah lembarannya pun disesuaikan dengan jumlah peserta yang sudah didaftar sebelumnya. Di bundel dan disegel. Tapi tetap saja bocor. Entah muasal kebocorannya di mana, tapi yang namanya bocor mah, dari atas. Yang dibawah sih cuma menadah. Bahkan, ditemukan jumlah lembar jawaban dan soal tidak cukup dengan jumlah peserta. Lho, kemana lembar-lembar itu?

Pengawalan dan pengawasan yang begitu ketat sempat membersitkan haru dan bangga. Bagaimana tidak? Pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa ini.

Standarisasi kelulusan telah menjadi hantu yang mengerikan, tidak hanya bagi siswa tapi juga bagi pihak sekolah, bahkan oknum dinas pendidikan sendiri, sehingga semuanya saling membantu, bahu membahu, melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Melukai dan menghianati kejujuran yang semestinya menjadi dasar pendidikan.

Kelulusan memang tidak hanya ditentukan oleh hasil UN. Masih ada dua indikator lain yang ditentukan sekolah masing-masing, yaitu UAS dan sikap. Tapi UN terlanjur menjadi pelambang gengsi dari sekolah. Tak satu pun sekolah menginginkan siswanya tidak lulus UN. Susahnya soal-soal UN yang tidak mengenal kompromi, apakah sesuai atau tidak dengan materi pada setiap sekolah. Meski telah ada kurikulum yang mengatur itu, tetapi kondisi sekolah (baik sarana dan prasarana) dan siswa sendiri (termasuk kemampuan kognitifnya) yang berbeda di setiap sekolah atau daerah, menyebabkan waktu yang ditetapkan kurikulum terlalu sedikit dengan tuntutan materi yang begitu banyak. Dan meski hal itu pun telah diantisipasi dengan memberikan kompetensi dasar yang akan dijadikan soal UN ke setiap sekolah, tetap saja tidak mampu mengalahkan kekhawatiran mereka (baca: semua pihak utamanya pihak sekolah) akan hasil UN. Ditambah lagi, dengan penetapan standar yang sama secara nasional.

Guru tentunya sudah tahu dengan baik kemampuan siswanya. Toh, dia yang menghadapi siswa-siswanya itu setiap harinya. Jika kekhawatiran itu ada, berarti dia meragukan kemampuan siswanya (baca:dia yakin siswanya tidak mungkin lulus jika tidak dibantu). Dan siswa pun dengan relanya membiarkan ketidakpercayaan itu terpelihara sehingga, bisa saja, ikut menggerogoti kepercayaan dirinya. Parahnya, jika ketidakpercayaan diri itu berkembang menjadi sikap masa bodoh atau tidak peduli. Duh, mau jadi apa bangsa ini?

WAJAH GENERASI KITA

Sebelum menulis ini, saya berfikir lama sebelum akhirnya menemukan kata-kata yang tergambar di pikiran saya sebagai wajah generasi muda Indonesia. Anak muda indonesia adalah mereka yang lebih senang bermimpi daripada bekerja keras mewujudkan mimpinya. Coba kita lihat sekarang, banyak acara-acara atau kegiatan pencarian bakat yang nyata-nyata hanya menjual mimpi dan popularitas saja.
Saya tidak menyalahkan mereka-mereka yang ada di jalur seni. Bahkan saya adalah penggemar seni, baik itu seni audio berupa musik, lagu ataupun audio – visual seperti film dengan gambar-gambar dan akting yang bagus (dalam arti sebenarnya!), ataupun seni sastra, berupa kata-kata bagus seperti lirik lagu, puisi, atau cerita-cerita bagus.
Menurut saya, ada garis batas yang sangat lebar antara seni dan popularitas.

Anak Indonesia adalah mereka yang malas baca. Coba ambil satu sampel secara acak (tarik aja salah satu anak yang berseragam di jalan...) lalu tanya, berapa buku yang mereka baca dalam sehari, atau paling tidak dalam seminggu or sebulan? Siap-siap saja kecewa mendengar jawabannya. Mungkin ada yang menjawab satu (itu pun buku pelajaran karena akan ada ujian), atau mungkin ada celetukan, “eh, buku itu apaan? bisa dimakan ya?” (hehe..bayangan saya terlalu mengerikan ya?).
Anak indonesia adalah mereka yang kehilangan jati diri sebagai bangsa (ini adalah keluhan seorang teman yang gerah melihat banyaknya wajah asing di TV atau wajah asing tapi di-Indonesia-in atau malah sebaliknya (lebih ancur lagi) wajah indonesia banget tapi tingkah, gaya, bahkan cara bicara di barat-barat-in, dan tidak bisa lagi menemukan wajah indonesia).

Anak indonesia adalah …ah, kalian juga bisa menggambarkan sendiri…

Saya sendiri bukanlah seorang tua yang begitu bijak dan merasa berhak memberi nasehat. Saya kurang lebih masih termasuk dalam jajaran generasi muda (kalau masih boleh hehe...) yang dalam rangkaian waktu disentak setelah menoleh sedikit ke belakang. Saya akhir-akhir ini sering berfikir apa yang salah dengan bangsa ini. Padahal kita adalah turunan dari bangsa yang besar. Tidak kalah dengan bangsa arya (yang selalu dibanggakan orang eropa itu...). Nenek moyang kita (kata nenek saya) adalah orang bermartabat, jujur dan berani. Terbukti dengan banyaknya orang-orang dari bangsa ini yang kita kenal di masa lalu sebagai pejuang yang tidak sudi tunduk di bawah perintah bangsa lain. Kita adalah bangsa kaya (ini doktrin pemerintah sejak saya SD) terbukti bahwa siapapun yang pernah memerintah negeri ini dalam waktu lama pasti jadi makmur (hehe). Kita adalah bangsa yang cerdas, tidak percaya? ada yang meragukannya? Ok, saya paparkan buktinya...mm...tunggu dulu..maaf yang ini agak lama....ingat bahwa kita merdeka dan diakui sebagai negeri yang berdiri sendiri seperti sekarang adalah berkat kecerdasan orang-orang Indonesia yang berdiplomasi di depan para pemimpin bangsa lain untuk membuat mereka tahu dan mengakui bahwa kita adalah suatu bangsa? Pendahulu-pendahulu kita itu tidak mungkin memakai bahasa jawa or bugis di sana, kan? Atau..., Tahu Olimpiade Fisika, kan? Juara-juaranya, kan dari bangsa ini.

Jadi tidak benar anekdot yang berbunyi bahwa katanya ada orang Jepang yang pernah berkata seandainya orang Indonesia adalah menu makanan, maka bagian yang paling lezat adalah otaknya karena tidak pernah dipakai atau tidak pernah bekerja keras. Ini ejekan yang mengatakan bahwa kita adalah orang yang malas berfikir, what?! Kalau berfikir aja malas..bagaimana belajarnya...? Padahal pendahulu kita pekerja keras, koq turunannya pada jadi pemalas sih..

Saya juga bukanlah salah satu dari juara-juara olimpiade itu atau bagian dari orang-orang hebat yang pernah membentuk bangsa ini sehingga merasa punya sedikit kekuatan menghakimi. Justru saat saya menulis ini, saya ikut terhakimi.

Sekali lagi, apa yang salah dengan bangsa ini? Mengapa bangsa lain bisa maju dengan begitu pesat sementara kita tertatih di belakang. Lihat Malaysia sekarang, dengan mudahnya Malaysia mengejek dan menginjak-injak harga diri bangsa kita. Padahal, dulu Malaysia siapa sih? Bahkan Malaysia hampir kita ganyang waktu jaman Sukarno. Tapi kenyataannya sekarang, memang sebagian besar bangsa kita yang bekerja di sana adalah pembantu atau buruh. Jadi wajarlah jika pandangan mereka terhadap bangsa kita agak-agak gimanaaa gitu....Malaysia adalah bangsa yang mau belajar. Program membangun mereka mulai dengan belajar dengan mendatangkan guru-guru (dari Indonesia!) dan mengirim anak-anak mereka berguru di sini.
Bahkan, sekarang katanya orang Indonesia banyak datang ke sana untuk menjadi tentara bayaran. Sepertinya bangsa kita lebih suka membela negara lain demi uang. Jangan-jangan nanti, akan ada perang antar saudara sekandung, saudara sepupu.

Itu baru Malaysia. Mau kita bandingkan dengan bangsa lain lagi. Jepang? Korea selatan? Afrika? ....aduh bo...cape deh.....




Ditulis di Maros, 21 Februari 2008 ditengah keprihatinan dan rasa kecewa.

Orang seperti apa saya....?


Orang seperti apa kita bergantung pada bagaimana kita menjalani hidup, terutama saat badai datang. Dan saya berulang kali gagal bersikap, yang menunjukkan ‘siapa saya’ ketika suatu badai datang. Seringkali emosi lebih menguasai saya sehingga saya berperilaku di luar yang biasanya. Seringkali saya kehilangan kendali atas sikap saya. Emosi bahkan sanggup mengubah saya menjadi orang yang saya tidak inginkan. Membuat saya sanggup mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah saya ucapkan sebelumnya.

Pernah, di satu gelombang badai, saya bertindak di luar kebiasaan saya sebagai pelampiasan emosi. Kejadian itu melukai saya, sangat dalam. Dan tanpa saya sadari, juga melukai orang-orang di sekitar saya. Tapi saya sudah tidak memandang hal itu lagi. Emosi menggelapkan pandangan saya sehingga saya hanya melihat diri saya sendiri sebagai korban. Banyak dalih saya gunakan sebagai pembenaran atas kelakuan saya (dan sepertinya, butuh lebih banyak lagi). Saya merasa bahwa orang lain-lah yang mengakibatkan saya seperti itu. Bahwa saya hanya bereaksi atas aksi yang diberikan kepada saya (tapi saya kadang bingung, yang mana disebut ‘aksi’ dan yang mana ‘reaksi’). Saya terlalu gampang terluka. Dan lucunya, saya terlalu cepat menyadarinya dan kadang saya merasa bersalah karena hal tersebut.

Dari semuanya, saya kembali menyadari satu hal. Bahwa apapun yang kita lempar tidak akan mungkin bisa kita tarik kembali. Tapi saya bukan orang yang selalu menyesali apa yang sudah terjadi. Bahkan untuk tindakan yang tidak terpikirkan. Bagi saya, apa yang saya lakukan sebelumnya, baik yang terencana maupun tidak, selalu ada kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi. Jika pun waktu berulang, dengan kondisi yang sama, saya pun tidak akan mampu mencegah tindakan saya yang sama berulang. Semua ada resikonya. Saya jadi ingat lirik : You pray for rain but you don’t want it from the storm. You find a rose and cut your finger on the thorn. Just go and cry coz everybody cries.

Tetapi dalam keadaan seperti itu, seberapa menyesal pun saya, maaf adalah sesuatu yang tidak mungkin. Saya terlalu angkuh untuk itu. Setidaknya untuk saat ini.
Saya sanggup mencari lebih banyak pembenaran lagi untuk menghindari hal tersebut.
Sepertinya sudah kelihatan, orang seperti apa saya.


Tamalanrea, 26 April 08.

Jumat, 11 April 2008

beberapa hari yang lalu saya sms-an dengan teman saya. kami mendiskusikan banyak hal tentang hidup, utamanya tentang sistem negara kita yang bobrok sampe ke masalah2 agama dan masyarakat kita, termasuk saya, yang masih banyak yang buta agama. Diskusi kami itu berlangsung alot sampe menghabiskan banyak pulsa (untungnya waktu itu saya dapat sms gratis hehe....) yang ujung-ujungnya berakhir pada perselisihan kecil (meski lewat sms). Tapi untungnya, di akhir diskusi, kami mencoba mencari jalan tengah dan saya (saat itu) berusaha memahami pemikiran-pemikirannya meski masih banyak hal yang belum bisa saya terima.

Tapi hari ini saya mengalami goncangan yang sangat hebat (wwwuiiiih....ck..ck..ck!). saya saat ini ingin meng-smsnya kembali untuk mengakui beberapa kebenaran yang pernah dia paparkan pada saya lewat sms saat itu. saya ingin sekali mengirimkan pesan tapi (sepertinya) saya terlalu pengecut untuk itu dan lagi saya tidak ada pulsa hehe...
so, sms yang saya kirim mungkin akan seperti ini :
kamu benar teman! ada yang salah memang dengan sistem negara ini. dan karena sistemnya salah, maka semua....semuaaanya!hingga ke ujung-ujung bawahnya, semua salah! Ada yang salah dengan hidup ini teman! Saya benar-benar merasa tidak nyaman dengan kondisi saya sekarang. saya tidak nyaman dengan nurani saya yang terus bersuara. saya tidak nyaman dengan kejujuran2nya.saya tidak nyaman dengan orang2 di sekitar saya yang akan saya khianati jika mengikuti suaranya. hati saya benar2 tidak nyaman karena tidak bisa melepaskan diri.saya kecewa...kecewaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................

so, akhirnya saya cuma bisa menghibur diri. mungkin suatu saat saya akan mengerti dengan semua kondisi yang sekarang. seperti saya baru mengerti sekarang mengenai banyak hal yang sudah terjadi di belakang saya. Ayolah...teman...saya masih muda, kan?

Yup!saya cuma bisa berusaha memahami dan berkompromi sambil mendengarkan lagunya Britney...someday...i will understand....

dan suara itu datang lagi....PENGECUT!!!!!



Tamalanrea. 11 April 08
adakah angin pernah lelah berkelana
lalu berhenti di pucuk pucuk daun
atau berbaring di atas rerumputan?

pernahkah jalan menghentikan langkah,
sedang ia tak berujung?

lalu mengapa hati ini begitu rapuh?

mks, April 08
adalah langit
ketika ia biru dan hitam
adalah laut
ketika ia tenang atau berombak

dan lihatlah senyum matahari
meski pagi
meski senja

mks, april 08
kesunyian memang lebih nikmat ditangisi
lalu senja pun turun dengan menari
melirik tawa yang berderai
meledak di dada selalu

tapi sepi terlanjur menjadi

dan dialah senyum itu
yang menjadi air mata setiap hari

mks, Feb 08