INVISIBLE GIRL
Aku duduk di depan TV sambil memegang bukuku. Ini Rabu malam. Ada serial baru yang kutunggu ditayangkan. Serial ini bercerita tentang seorang adik yang menjadi bahan percobaan kakaknya dan membuatnya bisa menghilang dan tak terlihat orang lain. Menjadikannya seorang Invisibel Man. Aku menyukai kisah seperti ini.
Meski besok pagi ada kuliahnya Pak Danang dan wajib hukumnya belajar sebelum mengikuti kuliahnya. Tapi aku tidak begitu peduli. Aku baru beranjak setelah acaranya selesai. Aku lalu menuju ke meja belajarku. Bagaimanapun aku tak mau jadi bulan-bulanan Pak Danang besok.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani aktivitas di kampus dalam kesendirian. Aku tidak bisa akrab dengan siapa pun. Itu sebabnya aku dinilai pendiam dan angkuh. Hal ini juga yang membuatku memilih tempat sepi untuk istirahat, seperti perpustakaan.
“Nia!” sebuah teriakan menghentikan langkahku saat akan memasuki perpustakaan. Ternyata Meta. Aku berbalik dan memberikan senyumku.
“Hai,” balasku Teman satu ini gencar mendekatiku dibanding teman sekelasku yang lain.
“Mau ke perpust? Aku ikut ya?” Tanpa menunggu jawabanku, dia menggandeng tanganku memasuki gedung perpustakaan. Aku agak risih diperlakukan seperti ini.
Meta termasuk orang yang beruntung. Ia cantik, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa pun. Semua orang mengenalnya. Mulai dari mahasiswa baru hingga dosen dan pegawai administrasi. Dibandingkan dengannya, aku tidak ada apa-apanya. Dia memiliki segalanya. Dia juga memiliki Sam….
“Mau cari buku apa?” Suara Meta membangunkanku dari lamunan.
“Tidak, aku kesini untuk istirahat.”
Dia beranjak menuju rak-rak buku dan mulai menelusuri judul-judul buku. Aku memperhatikan setiap langkahnya. Sesekali ia meraih satu buku dan dengan serius membuka lembaran halamannya. Aku tersenyum, pantas jika Sam menjatuhkan pilihan padanya.
Aku dan Sam kenal sejak SMU. Tentu saja aku punya banyak kenangan dengannya. Dan kenangan yang paling kusukai adalah saat kami pernah dekat atas dorongan teman-teman. Aku menyambutnya, meski aku tahu saat itu semua hanya pura-pura untuk membantu Sam memenangkan taruhannya.
Dan kami kembali dipertemukan di Universitas yang sama. Akulah yang mengenalkan Meta padanya. Dan tahu-tahu mereka sangat akrab dan aku kembali merasa tersisih.
“Ini buku bagus.” Suara Meta mengagetkanku lagi. Kulirik buku yang disodorkan padaku.
“Dasar bureng! Buku tebal begini dibilang menarik,” rutukku dalam hati. Bureng merupakan panggilan untuk seorang kutu buku. Dia pantas menyandang sebutan itu. Meski penampilannya tidak seperti kebanyakan yang digambarkan orang tentang seorang kutu buku. Meta tidak berkacamata dan sama sekali tidak norak.
“Gimana? Mau pinjam?” tawarnya. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Oke…kalo gitu, aku yang pinjam. Tapi aku titip di kartumu, ya? Kartuku tidak kubawa.”
Berjalan bersama Meta membuatku merasa tak terlihat oleh orang lain. Setiap orang yang berpapasan dengan kami menegurnya. Terkadang kami terhenti untuk ngobrol sebentar, maksudku dia yang mengobrol. Aku tidak pernah melibatkan diri dalam setiap pembicaraannya. Seperti saat ini, ia membuatku menunggu karena Pak Danang membicarakan sesuatu dengannya. Aku ikut menyimak. Pembicaraannya mengenai copy-an bahan kuliah atau semacamnya. Aku teringat si Invisible Man. Nasibku sama dengannya. Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Meta pun seperti lupa kalau aku ada.
***
Hari ini praktikum mulai berjalan lagi setelah terhenti karena libur. Aku berjalan tergesa menuju LAB. Sambil jalan, kuperiksa lagi kelengkapanku memastikan tidak ada alasan yang bisa membuat asisten Lab mengeleminasiku dan tidak mengikutkanku praktikum. Aku menoleh saat mendengar suara langkah terburu-buru seperti mengejarku. Ternyata Sam.
“Ada apa?” tanyaku begitu melihat raut mukanya cemas.
“Meta mana?” Senyumku kecut begitu mendengar nama yang disebutnya. Aku menggeleng. Wajahnya bertambah cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Kotak alatku dibawa olehnya,” ujarnya. Matanya mencari-cari ke arah jalan.
“Kau tidak menjemputnya?” Tanyaku. Sam menggeleng.
“Meta!” serunya tiba-tiba. Meta tergesa menghampiri kami.
“Sam, kotaknya masih di rumah. Kemarin aku menjenguk nenek dan menginap di sana, jadi….”
“Cepat! Kita ke rumahmu,” Sam memotong setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menarik tangan Meta dan berlalu dari hadapanku. Aku melanjutkan jalanku menuju Lab. Mudah-mudahan mereka tidak terlambat, gumamku.
Di dalam Lab aku tidak bisa berkonsentrasi. Kuarahkan pandanganku ke meja sebelah. Sam dan Meta belum kembali. Kutepis bayangan-bayangan buruk yang melintas. Hingga selesai praktikum mereka tidak muncul-muncul juga.
Aku keluar mencari mereka. Di depan Lab nampak teman-teman yang berkumpul membicarakan sesuatu dengan serius. Rasa ingin tahuku memaksaku mendekat. Aku tersentak. Sam dan Meta kecelakaan! Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan mereka? Susul menyusul pertanyaanku keluar. Mereka memandangiku seolah memastikan apa aku benar-benar khawatir. Tentu sajas aku khawatir, kesalku dalam hati. Merekalah yang dekat denganku selama satu semester ini. Apalagi ini menyangkut Sam.
Bersama yang lain aku menyusuri koridor rumah sakit. Suara langkah kami memenuhi udara koridor yang sebelumnya sepi. Dari jauh tampak Sam duduk di depan ruang ICU. Sam berdiri begitu melihat kami menghampirinya. Tangannya dibalut perban dan tampak beberapa memar di wajahnya.
“Meta mana?” tanyaku begitu tiba di depannya. Ia diam. Sam mengarahkan pandanganku ke dalam ruang ICU. Aku meraih baju khusus untuk masuk ruangan. Meta terlihat tak berdaya dengan selang-selang kecil di tubuhnya. Dia tertidur atau pingsan? Entah, aku tak bisa membedakannya.
Sementara mereka bergantian masuk, aku duduk menemani Sam. Dia terlihat sangat kacau. Dari kedua matanya nampak olehku kelelahan dan kesedihan bercampur jadi satu.
“Kau sudah hubungi orang tuanya?” tanyaku pelan.
“Ayahnya tiba nanti sore dan ibunya ke apotik menebus obat,” paparnya. Pandangannya menerawang. Aku mengerti kesedihannya. Sam tinggal sendiri. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia kecil. Hidupnya dibiayai pamannya. Tapi karena kesibukannya, Sam hampir tidak pernah melihat pamannya. Ini bagian hidup Sam yang tidak diketahui Meta. Bagian yang tidak pernah dibaginya dengan siapapun. Cerita yang hanya ia kisahkan padaku saat kami bersama dulu.
Tapi sekarang semua telah berbeda. Sam tidak bercerita apapun lagi padaku. Aku pun tidak bisa berbuat banyak. Sekarang di matanya, aku bukan siapa-siapa. Sahabat pun bukan.
Kampus kurasakan semakin sepi tanpa kehadiran Meta. Tanpa sikapnya yang kadang menjengkelkan jika memksaku menemaninya ke satu tempat ditambah Sam yang jarang masuk kampus. Dia kebanyakan di rumah sakit. Aku pun lebih sering ke sana. Meta sudah dipindahkan ke bagian perawatan. Aku dan Sam lebih sering bersama sekarang. Ke apotik untuk menebus obat atau sekedar menemaninya ngobrol. Ada rasa bersalah yang merambat pelan di hatiku saat menikmati setiap kebersamaan dengannya. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku, betapa aku senang dengan keadaan ini.
“Masih ingat yang ini ?” tanya Sam saat kami duduk berdua di koridor rumah sakit sambil mengacungkan harmonikanya ke arahku. Aku tersenyum mengangguk. Bagaimana aku bisa lupa, dulu benda ini selalu menemani kami. Sam sering meniupkan nada-nada lagu dengan harmonikanya.
“Ingat lagu ini….?” Aku mulai bersenandung. Sam mengiringi dengan harmonikanya. Untuk sesaat kami lupa berada dimana. Sampai seorang suster menepuk pundak Sam yang seketika menghentikan permainannya. Begitu susternya pergi, aku dan Sam tak bisa menahan tawa.
Kami terdiam lama. Kuperhatikan Sam yang menimang-nimang harmonikanya sambil memandangi tembok-tembok rumah sakit. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku berharap dia mengenang apa yang pernah kami lalui dulu seperti yang kulakukan saat ini. Tiba-tiba Sam tertawa geli. Muka bingung yang kuperlihatkan tidak juga menghentikan tawanya.
“Kenapa?”
“Aku ingat dulu ketika memintamu pura-pura jadi pacarku supaya menang taruhan…,” kenangnya di sela tawa. Aku ikut tertawa. Hambar.
“Nia….” Sam menoleh ke arahku. Ia menatapku seperti mencari sesuatu. Untuk sesaat aku terpaku.
“Saat itu….”
“Lucu… ya,” potongku melepaskan diri dari tatapannya lalu menyuguhkan senyumku yang terpaksa.
“Saat itu…kau tidak berura-pura, kan?” tatapannya belum juga melepaskanku. Aku tak bisa menghindar lagi.
“Kau…mencintaiku…?” Aku mengangguk lantas merutuki kebodohanku dalam hati.
“Sekarang…kau masih…?” Sam menatapku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku melihat harapan di matanya tapi pikiranku kutepis jauh-jauh.
“Harusnya aku bilang dari dulu….” Dia terdiam. Aku menunggu lalu lanjutnya,”Saat itu aku juga menyimpan harapan…." Sam kembali diam membiarkanku bergulat dengan pikiranku.
“Tapi sekarang semua telah berubah. Mungkin kau sudah mencintai orang lain,” cetusnya kemudian dengan senyum dipaksakan.
“Kau yang mencintai orang lain,” bisik hatiku. Dia sedang bimbang, itu yang kulihat dari matanya. Ia hanya dipenuhi kenangan-kenangan kami dulu. Kesepian dan kesendirian yang sama yang dialaminya dulu saat aku masuk di kehidupannya yang membuatnya bertingkah seperti ini, aku menghujani hatiku dengan pikiran-pikiran logis. Hanya satu orang yang memiliki hatinya. Yaitu Meta dan ia sekarang terbaring di dalam sana. Aku tidak mungkin mengambil keuntungan dari keadaan ini.
“Nia….” Sam memanggilku lirih.
“Meta….” Aku memotong sebelum ia melanjutkan kalimatnya tapi aku sendiri tak bisa melanjutkan bicaraku.
“Meta…dia orang yang kau cintai,” ucapku terbata.
“Tapi….”
Aku berdiri meninggalkannya. Kutepis keinginan agar dia mengejarku.
“Aku membutuhkanmu….” Sam meraih pundakku dari belakang. Sebuah erangan dari dalam kamar menghentikan kami. Sam menghambur masuk diikuti olehku.
“Sam….” Tangan Meta menggapai. Sam meraihnya.
“Aku di sini,” bisiknya.
Aku melangkah meninggalkan ruangan. Dia orang yang kau butuhkan, Sam. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi kau tidak akan sendiri, Meta yang akan menemanimu.
Hari ini Meta melengkapi kemenangannya. Ah, tidak, aku yang melengkapi kekalahanku. Tapi apa bedanya. Lagipula waktu akan terus berjalan tanpa peduli hari ini hatiku patah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar