Sabtu, 09 Juli 2011

Drama Pembantaian Sebuah Koloni

Pagi itu, di hari Sabtu, adalah hari libur bagi sebagian warga tapi tidak bagi sebagian warga lain. Matahari pagi menyinari setiap sudut ruangan tak terkecuali sudut tempat sekoloni rayap menetap. Seekor rayap seperti biasa, keluar dari lubang kecilnya. Statusnya sebagai rayap dari kasta pekerja tidak membenarkannya untuk sekedar duduk menunggu makanan. Tidak. Dialah yang ditunggu untuk mencari, mengangkut dan memberi makan rayap-rayap dari kasta prajurit ataupun kasta petelur.

Hari ini dia merasa agak aneh. Dia merasa diawasi seseorang. Seharusnya perasaan seperti itu wajar. Setiap rayap yang berada di koloni ini pastilah akan merasakan hal itu. Tentu saja, karena merekalah koloni yang dengan terang-terangan, seterang-terangnya, menampakkan pertanda keberadaan koloni di sudut ruangan ini. Tetapi hari ini perasaannya sangat kuat. Seolah sepasang mata itu tak pernah melepaskan langkahnya sedetik pun. Tajam, penuh benci.

Dia menoleh ke arah teman-temannya yang sekasta dengannya. Mereka pun keluar dari lubang-lubang kecilnya. Melakukan aktivitas yang sama dengannya.

“Hai,” sapa temannya,”hari ini matahari terlalu terang ya…? Pagi yang indah bukan?” katanya penuh semangat sambil memperbaiki dinding-dinding sarang yang jebol. Entah sejak kapan, ia mulai melakukan pekerjaannya itu. Rasanya sudah lama sekali, temannya ada di situ dengan pekerjaan yang sama. Dan dinding-dinding yang diperbaikinya tetap saja selalu jebol setiap harinya.

Dengan diliputi perasaan tidak enak yang aneh, rayap itu pun tetap melangkah ke tempat biasa ia mendapatkan makanan untuk disimpan di gudang. Beberapa rayap berjaga di sana. Merekalah yang bertugas memindahkan makanan-makanan itu ke tempat lain jika gudang sudah tidak aman lagi.

Tampak beberapa rayap berjalan hilir mudik di antara para pekerja. Tampilan tubuh rayap-rayap ini lebih gagah dilengkapi rahang berbentuk gunting sebagai penjepit musuh, sebuah perlengkapan yang hanya dimiliki rayap prajurit, Merekalah para rayap dari kasta prajurit yang bertugas mengamankan koloni dari gangguan musuh

Langkahnya terhenti. Membuat teman-temannya yang berjalan dibelakangnya ikut berhenti. “Eh, ada apa?” Ia terdorong, memaksanya melangkah lagi.

“Hari ini matahari terlalu terang ya…?” ucapan temannya tadi melintas lagi di kepalanya….dan degg….tiba-tiba dia terpikir sesuatu. Rayap itu berlari, membiarkan makanan yang dibawanya berhamburan. Dia keluar dari barisan, tidak peduli pada teman-temannya. Dia terus berlari menjauhi barisan teman-temannya menuju daerah yang lebih lapang dan mengamati sekelilingnya. Yah…matahari memang sangat terang hari ini. Terlalu terang. Dia merasakan panasnya cahaya yang menerpa tubuhnya. Sebuah jendela terbuka lebar di sana. Kejadian yang sangat tidak lazim. Di pagi seperti ini dan jendela sudah terbuka. Lalu rayap itu tiba-tiba berteriak,”Bahayaaa……!!!”

Para rayap prajurit berhamburan lalu membentuk formasi dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mengamankan gudang dan mengawal para pekerja memindahkan makanan. Ada yang mengamankan sarang di mana rayap petelur berada. Sementara di garis depan, para rayap prajurit lainnya membentuk formasi melawan dan terus waspada meski mereka tak melihat musuh seekor pun.

Seekor rayap yang merayap sendiri di tengah dinding terus merangkak dan mengendus bahaya. Lalu beberapa detik kemudian datanglah bencana itu. Berjuta-juta butiran cair bagai hujan deras tiba-tiba mengguyur daerah tempat koloni mereka berada. Para rayap pekerja berhamburan mencari perlindungan. Rayap-rayap prajurit ikut berhamburan, hendak melawan tapi tetap tak melihat musuh seekorpun. Kemudian…byurrrr…! hujan deras kembali menimpa mereka. Dalam beberapa detik rayap-rayap, baik prajurit maupun pekerja, terkapar.

“Ini bukan hujan…, ini racuuuun…!” teriak para rayap. Tapi sudah terlambat. Racun-racun itu tidak hanya mengguyur mereka yang di luar tetapi juga memenuhi lubang-lubang tempat para rayap tinggal. Tak terkecuali tempat rayap petelur atau ratu. Dalam beberapa menit saja, koloni itu hancur tanpa sisa. Bangkai-bangkai rayap pun diangkut entah ke mana.

Suasana menjadi tenang. Bangkai-bangkai rayap telah bersih. seekor rayap yang sejak tadi merayap sendiri pun tak terlihat lagi. Dari kejauhan terlihat makhluk bersayap terbang melintasi daerah reruntuhan koloni. Dia seekor laron. Seperti seorang anak yang baru pulang setelah lama merantau, ia terus terbang mengitari reruntuhan koloninya, berharap menemukan sesuatu. Sesuatu yang pernah sangat dikenalnya.

***

Seorang terduduk lelah, masih dengan penyemprot di genggaman tangan kirinya, menatap sudut kamar yang telah “dibereskannya”. Yang muncul dihadapannya adalah bayangan pasar yang terbakar habis beberapa hari yang lalu. Berita mengenai kebakaran pasar itu hanya sekali ditayangkan di TV tidak seperti berita mengenai seorang anggota DPR yang berseteru dengan anggota KPU yang tidak hanya ditayangkan berseri tapi juga berulang-ulang.

Selintas perasaan bersalah menggantung. Ditatapnya “hasil pekerjaannya” dan berucap maaf berkali-kali.
Ia lalu menetapkan hatinya, memperkuat genggamannya. “ Demi keseimbangan ekosistem,” bisiknya.
Alasan tidak masuk akal sama tidak rasionalnya dengan alasan terbakarnya pasar hari itu.


Makassar, Juli 2011