Tanggal 24 – 25 November kemarin, bertempat di kafe buku Biblioholic, Jl. Perintis Kemerdekaan Tamalanrea Makassar, diselenggarakan pemutaran film Eropa yang merupakan rangkaian Festival Film Eropa (European Film Festival) yang diadakan di beberapa kota di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bandung, Medan, Banda Aceh, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.
‘European in Screen’, begitu mereka menyebut festival ini, memutar beberapa film Eropa dan film-film pendek dari Indonesia. Karena tema yang diusung dalam acara ini adalah multikulturalisme, maka film-film yang diputar pun menonjolkan keberagaman budaya-budaya yang ada di Eropa, perbedaan ras, agama dan tradisi, serta latar belakang pemikiran, dan bagaimana perbedaan-perbedaan itu hidup bersama dalam satu wilayah, bahkan dalam lingkungan kecil, dengan berbagai konflik yang kemudian muncul.
Konflik yang terjadi tidak melulu karena perbedaan-perbedaan tersebut, tapi seperti yang juga terjadi pada kebanyakan film. Ada yang menampilkan konflik keluarga, seperti pada Love Lorn, yang menggunakan perselingkuhan sebagai sentral ceritanya. Film ini mengisahkan Nazim, seorang pensiunan yang gagal dalam membina hubungan baik dengan anak-anaknya kemudian bertemu dengan seorang wanita, bernama Dunya, yang telah bersuami dan memiliki seorang puteri.
Pertemuan mereka dan ‘pertemanan’ yang terjalin diantara mereka mendapat pertentangan terutama dai keluarga Nazim. Si wanita diceritakan mendapatkan pertolongan dengan bertemu Nazim setelah ketidakharmonisan yang terjadi dalam rumah tangganya. Bahkan putrinya terkena penyakit ‘malas bicara’ karena telah banyak menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya yang seorang psikopat. Nizam kemudian berusaha menyelamatkan hidup wanita itu, bukan dengan membawanya kabur trus happy ever after berdua, tetapi dengan memaksa suami Dunya menjadi orang baik, ayah, bahkan suami yang baik.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Setelah Dunya kembali mengalami pemukulan, ia pun lari dan mengadu pada Nizam. Apa yang terjadi berikutnya? Ending dari film ini benar-benar tidak diduga sebelumnya. Sang suami, setelah menyadari tidak bisa membujuk istrinya kembali, memutuskan untuk mati setelah menembak kepalanya sendiri. Hal ini dilakukannya setelah menembak kepala isterinya lebih dulu. Tragedi ini berlangsung di depan mata Nizam dan puteri mereka. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan Dunya seperti yang selalu ia ingin lakukan selama ini.
Film ini mengandung pesan bahwa hidup adalah pilihan, seperti yang diucapkan Nizam pada suatu waktu dalam film tersebut. Suami Dunya memilih mati sementara Dunya pun telah memilih. Ia memilih meninggalkan suaminya dan tidak akan memberi kesempatan lagi. Meski untuk itu, ia harus mati. Dan Nizam? Dia pun memiliki konflik sendiri diakibatkan oleh pilihan-pilihannya. Lalu bagaimana dengan puteri Dunya? Apa ia punya kesempatan memilih?
Benang merah dari film-film yang ditayangkan pada Festival Film Eropa ini adalah multikulturalisme di Eropa, sehingga film-film tersebut pada umumnya bercerita bagaimana seseorang atau sebuah keluarga menghadapi tradisi dan budaya yang berbeda dari tradisi di tempat asalnya dan bagaimana ia hidup dalam lingkungan asing tersebut. Seperti pada Polleke yang mengisahkan keluarga Mimoen dari Maroko yang menetap di Belanda. Kemudian Zozo, seorang anak yang akar keluarganya dari Swedia, yang tinggal di Lebanon ketika masa perang, atau pada Almost Adult, yang mengangkat kisah Mamie, seorang imigran di Inggris, dan kemampuannya beradaptasi dan meyesuaikan diri di lingkungannya yang baru.
Festival Film Eropa ini menjadi menarik bukan hanya karena minimnya festival seperti ini digelar di Makassar, tapi karena tema budaya dan tradisi yang diangkat pada Festival ini. Bagi orang-orang Eropa, budaya Asia yang unik menjadi menarik sehingga membuat mereka datang kemari untuk melihat etnik yang berbeda dengan yang ada di negaranya. Ada sensasi tersendiri begitu menyaksikan adat dan budaya yang berbeda tersebut. Seperti itu juga bagi saya, bagi beberapa orang Asia mungkin, yang menjadi begitu tertarik untuk menyaksikan budaya dari Eropa ini.
Beberapa film menampilkan budaya dan adat yang berasal dari luar Eropa. Seperti bagaimana keluarga Mimoen yang berasal dari Maroko (dalam Polleke) ketika merayakan sebuah pesta pernikahan. Film ini, sesuai misinya, menunjukkan bagaimana budaya luar (luar Eropa) ada dan hidup, serta mampu bertahan bahkan diterima di tengah budaya Eropa. Festival ini secara garis besar menunjukkan bahwa kemajemukan atau pluralisme sudah menjadi bagian dari kehidupan Eropa.
Meniru ’tradisi’ yang dilakukan pak Bondan (dalam acara wisata kuliner) yang punya sesi dimana dia memilih masakan terlezat menurutnya dari beberapa kunjungannya di berbagai tempat makan pada satu episode, maka saya pun ingin memilih film terbaik menurut saya. Karena suka-suka saya, jadi tidak perlu kategori-kategori tertentu seperti yang digunakan oleh juri-juri perfilman, kan? Dan pilihan saya jatuh pada film (...goes to...) Almost Adult. Alasannya? Soal suka atau tidak suka, saya kadang tidak punya dan tidak butuh alasan. Tapi untuk kali ini saya punya alasan singkat. Karena Ceritanya sederhana, menyentuh, dan terasa nyata. Zozo pun menarik. tapi ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu ada. Ketika Zozo (berkhayal) menyaksikan sebuah titik cahaya yang berbicara padanya. Jika adegan ini dihilangkan, mungkin Zozo lebih menarik dan penonton tetap tidak akan kehilangan kesan bahwa Zozo sangat menderita kehilangan keluarganya dan karenanya ia membangun khayalannya dengan berbicara dengan ayam kecil (lucu!), bertemu ibunya (ini sih masih sangat wajar!), berbicara dengan Tuhan lewat cahaya (????). Mungkin jika Zozo berdialog dengan Tuhannya, mempertanyakan nasib dengan berbisik lirih (tanpa embel-embel cahaya), akan lebih menyentuh. Ini menurut saya lho....
Tidak hanya film Eropa, pada waktu jeda juga diputar Film pendek karya Andi Affan yang mengangkat isu flu burung di Indonesia sebagai temanya. Jika dibandingkan dengan film terdahulunya (Suster apung), maka saya lebih memilih Suster apung. Kenapa? Cerita Suster apung lebih menyentuh. Padahal pada filmnya kali ini, Andi Affan telah membuat tokoh utamanya se’menderita mungkin’ (kematian ayah plus penyakit asma yang dideritanya dan terancam kehilangan burung peliharaannya, yang merupakan ’warisan’ ayahnya, karena pemusnahan unggas secara massal pada waktu itu). Cerita Suster apung lebih mengharu biru meski terasa lucu. Membuat kita tertawa tapi miris. Mungkin karena kisah Suster apung benar-benar nyata, dengan kepolosan dan ketulusannya, tanpa rekayasa sedangkan filmnya yang satunya lagi lebih terasa fiksi meski mungkin benar-benar diangkat dari kisah nyata.
Harapan penulis, semoga acara yang berskala internasional seperti ini akan selalu diadakan di kota ini. Dan panitia penyelenggara acara pun lebih terbuka dalam mempromosikan dan mensosialisasikan acaranya sehingga tidak berkesan exsclusive.
Makassar, 26 Nopember 2007
Aku percaya sinarnya biru Meski ia bagai kerlip kecil ditengah deru angin … Pada ketika jarak hanya menyisakan redup Aku yakin kau seterang matahari …
Kamis, 29 November 2007
Kamis, 15 November 2007
LUKISAN ANGIN
Tentang Angin Dan Ilalang
Sore itu terasa berbeda. Meski mataharinya sama. Angin yang bertiup, rumputnya, pohonnya, dan seorang laki-laki yang duduk disampingnya. Semua masih sama seperti kemarin-kemarin tapi tetap saja ia merasakan ada yang berbeda.
“Kemuning…,” panggil lelaki yang duduk di samping sang gadis.
Gadis itu menoleh. Dadanya berdegup menunggu. Dia yakin sekaranglah saatnya.
“Jika kau menjadi bagian bukit ini, kau ingin menjadi apa?” tanya sang lelaki.
Gadis itu diam sejenak. “Mmm….” Dia belum juga menemukan jawabannya. Pandangannya beredar mengitari hamparan rumput ilalang, tanah berbatu….
“Rumput!” Kata itu tercetus begitu saja.
“Rumput?” Gadis itu mengangguk mantap menunjuk salah satu batang rumput di depannya.
Si lelaki tersenyum. Dia bergerak meraih salah satu batang rumput.
“Jangan!” lelaki itu menoleh. Sejenak kemudian ia tersenyum mengerti. Ia tidak jadi mencabut rumput itu.
“Kenapa bukan kemuning?”
“Kemuning?” Si gadis mengitari bukit itu sekali lagi dengan matanya tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Tapi tidak ada kemuning di sini!” tukas si gadis.
“Aku akan menanamnya di sana.” Si lelaki menunjuk ke depan dan tersenyum pada gadisnya.
Mereka saling tatap lalu si gadis berkata lirih,”Aku jadi rumput saja….” Si lelaki menunduk dan menghela nafasnya. Dadanya terasa sakit. Nampaknya gadisnya telah mengerti maksudnya.
“…Toh akhirnya kau tetap akan meninggalkanku.”
“Aku tidak mungkin selamanya di sini. Dari awal kau sudah tahu itu.” Ia menatap mata gadisnya mencari persetujuan.”Ini satu-satunya kesempatanku. Di sana, aku bisa jadi pelukis terkenal.”
“Kau pun bisa melukis di sini….” Si gadis bertahan.
“Tanpa dikenal siapapun?! Aku butuh pengakuan untuk karyaku!” Si lelaki menatap tajam.
“Aku pun tidak mungkin membawa rumput ini pergi. Di sinilah dia hidup,” lirihnya kemudian.
“Kau tetap akan pergi?” Si lelaki menunduk, tak sanggup menatap telaga di mata gadisnya.
Mereka terdiam lama sampai akhirnya lelaki itu menuntun gadisnya beranjak dari tempat itu.
“Kau ingin menjadi apa?” Si gadis bersuara kembali setelah mereka menuruni bukit.
“Angin.”
Si gadis terdiam. Dengan menunduk, ia mengikuti langkah lelaki di depannya. Air matanya jatuh satu-satu. Jawaban itu telah menikam batinnya.
***
Aku memajang lukisan kesayanganku di dinding yang paling strategis. Sontak teman-temanku berkumpul membentuk setengah lingkaran lalu memandangi lukisanku itu dari setiap sisi.
“Bagus….”
“Iya, latarnya benar-benar indah.”
Beberapa komentar yang terdengar membesarkan hatiku. Aku tersenyum bangga menatap masterpieceku terpajang.
Lukisan itu tampak hidup. Seorang gadis berdiri di tengah ribuan rumput ilalang. Di depannya berdiri, sebuah taman kecil berisi bunga-bunga kemuning yang mengikuti gerakan ilalang yang tertiup angin. Gadis itu berdiri seolah akan terbang. Tangan kanannya terentang ke depan hendak meraih seberkas garis putih di depannya. Dia tampak seperti gadis yang menyambut sekaligus melepas kekasihnya pergi.
“Dari komposisi warna….” Semua yang ada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara. Begitu tahu siapa yang bicara, tawa langsung merebak. Semua tahu, Yusril bukan pelukis. Apalagi sampai tahu komposisi warna segala.
“Habis…kalian serius amat. Segitu terpesonanya,” sambarnya begitu tahu dirinya jadi bahan tertawaan.
“Cantik. Siapa gadis ini?”
***
masih nyambung....
Sore itu terasa berbeda. Meski mataharinya sama. Angin yang bertiup, rumputnya, pohonnya, dan seorang laki-laki yang duduk disampingnya. Semua masih sama seperti kemarin-kemarin tapi tetap saja ia merasakan ada yang berbeda.
“Kemuning…,” panggil lelaki yang duduk di samping sang gadis.
Gadis itu menoleh. Dadanya berdegup menunggu. Dia yakin sekaranglah saatnya.
“Jika kau menjadi bagian bukit ini, kau ingin menjadi apa?” tanya sang lelaki.
Gadis itu diam sejenak. “Mmm….” Dia belum juga menemukan jawabannya. Pandangannya beredar mengitari hamparan rumput ilalang, tanah berbatu….
“Rumput!” Kata itu tercetus begitu saja.
“Rumput?” Gadis itu mengangguk mantap menunjuk salah satu batang rumput di depannya.
Si lelaki tersenyum. Dia bergerak meraih salah satu batang rumput.
“Jangan!” lelaki itu menoleh. Sejenak kemudian ia tersenyum mengerti. Ia tidak jadi mencabut rumput itu.
“Kenapa bukan kemuning?”
“Kemuning?” Si gadis mengitari bukit itu sekali lagi dengan matanya tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Tapi tidak ada kemuning di sini!” tukas si gadis.
“Aku akan menanamnya di sana.” Si lelaki menunjuk ke depan dan tersenyum pada gadisnya.
Mereka saling tatap lalu si gadis berkata lirih,”Aku jadi rumput saja….” Si lelaki menunduk dan menghela nafasnya. Dadanya terasa sakit. Nampaknya gadisnya telah mengerti maksudnya.
“…Toh akhirnya kau tetap akan meninggalkanku.”
“Aku tidak mungkin selamanya di sini. Dari awal kau sudah tahu itu.” Ia menatap mata gadisnya mencari persetujuan.”Ini satu-satunya kesempatanku. Di sana, aku bisa jadi pelukis terkenal.”
“Kau pun bisa melukis di sini….” Si gadis bertahan.
“Tanpa dikenal siapapun?! Aku butuh pengakuan untuk karyaku!” Si lelaki menatap tajam.
“Aku pun tidak mungkin membawa rumput ini pergi. Di sinilah dia hidup,” lirihnya kemudian.
“Kau tetap akan pergi?” Si lelaki menunduk, tak sanggup menatap telaga di mata gadisnya.
Mereka terdiam lama sampai akhirnya lelaki itu menuntun gadisnya beranjak dari tempat itu.
“Kau ingin menjadi apa?” Si gadis bersuara kembali setelah mereka menuruni bukit.
“Angin.”
Si gadis terdiam. Dengan menunduk, ia mengikuti langkah lelaki di depannya. Air matanya jatuh satu-satu. Jawaban itu telah menikam batinnya.
***
Aku memajang lukisan kesayanganku di dinding yang paling strategis. Sontak teman-temanku berkumpul membentuk setengah lingkaran lalu memandangi lukisanku itu dari setiap sisi.
“Bagus….”
“Iya, latarnya benar-benar indah.”
Beberapa komentar yang terdengar membesarkan hatiku. Aku tersenyum bangga menatap masterpieceku terpajang.
Lukisan itu tampak hidup. Seorang gadis berdiri di tengah ribuan rumput ilalang. Di depannya berdiri, sebuah taman kecil berisi bunga-bunga kemuning yang mengikuti gerakan ilalang yang tertiup angin. Gadis itu berdiri seolah akan terbang. Tangan kanannya terentang ke depan hendak meraih seberkas garis putih di depannya. Dia tampak seperti gadis yang menyambut sekaligus melepas kekasihnya pergi.
“Dari komposisi warna….” Semua yang ada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara. Begitu tahu siapa yang bicara, tawa langsung merebak. Semua tahu, Yusril bukan pelukis. Apalagi sampai tahu komposisi warna segala.
“Habis…kalian serius amat. Segitu terpesonanya,” sambarnya begitu tahu dirinya jadi bahan tertawaan.
“Cantik. Siapa gadis ini?”
***
masih nyambung....
Selasa, 13 November 2007
LIHAT KE LANGIT LUAS
Lihat ke langit luas, kawanku
Kita mungkin tak punya atap
Yang melindungi dari panas dan hujan
Kita mungkin tak punya selimut
Yang menahan dingin kala terlelap
Tapi lihatlah sekali lagi ke langit luas
Ada biru tempat kita menggantung harap
Ada angin yang membawa awan melukis mimpi
Bumi menghampar adalah rumah
Kita mungkin tak punya home theatre
Tapi imajinasi kita mampu terbang lebih jauh
Kita mungkin tak punya kulkas penyimpan makanan
Tapi pernahkah lapar sampai membunuhmu?
Apa yang membedakan kita dengan mereka, kawanku?
Mereka tertawa, kita pun mampu
Mereka terharu, kita pun punya air mata
Percayalah, kawanku
Mereka pun pernah merana dan terlunta-lunta
Kita mungkin tak punya atap
Yang melindungi dari panas dan hujan
Kita mungkin tak punya selimut
Yang menahan dingin kala terlelap
Tapi lihatlah sekali lagi ke langit luas
Ada biru tempat kita menggantung harap
Ada angin yang membawa awan melukis mimpi
Bumi menghampar adalah rumah
Kita mungkin tak punya home theatre
Tapi imajinasi kita mampu terbang lebih jauh
Kita mungkin tak punya kulkas penyimpan makanan
Tapi pernahkah lapar sampai membunuhmu?
Apa yang membedakan kita dengan mereka, kawanku?
Mereka tertawa, kita pun mampu
Mereka terharu, kita pun punya air mata
Percayalah, kawanku
Mereka pun pernah merana dan terlunta-lunta
Kamis, 01 November 2007
aku sudah berlari semampuku
jika belum cukup, kutinggalkan hatiku
cacilah sepuasmu!
aku terlunta-lunta di antara terang dan gelap
mengemis tatap pada mata-mata sinis tak berampun
telah kulacurkan jiwaku hingga tak berharga lagi
tapi kutinggalkan jua percayaku untukmu
koyaklah! koyak sekuat tenagamu!
sudah... jangan meratap lagi!
akan kuberikan sisa harga diriku yang belum tergadai
makilah! sampai kau lelah dan tertidur
jika kau terbangun dan matahari masih segarang kemarin,
aku masih punya air mata yang akan menyejukkanmu
maros, okt 07
jika belum cukup, kutinggalkan hatiku
cacilah sepuasmu!
aku terlunta-lunta di antara terang dan gelap
mengemis tatap pada mata-mata sinis tak berampun
telah kulacurkan jiwaku hingga tak berharga lagi
tapi kutinggalkan jua percayaku untukmu
koyaklah! koyak sekuat tenagamu!
sudah... jangan meratap lagi!
akan kuberikan sisa harga diriku yang belum tergadai
makilah! sampai kau lelah dan tertidur
jika kau terbangun dan matahari masih segarang kemarin,
aku masih punya air mata yang akan menyejukkanmu
maros, okt 07
Langganan:
Postingan (Atom)