Aku menatap jam di tanganku yang terus berdetak. Untuk sesaat, aku hanya mendengar detak jam yang seirama dengan detak jantungku, di tengah keramaian orang-orang yang juga sedang menunggu bus.
“Jam berapa?” tanya seorang bapak yang mungkin sedari tadi melihatku memperhatikan jam.
“Seperempat jam tiga.” Bapak itu kembali ke tempat duduknya setelah mengucapkan terima kasih.
Aku melangkah ke arah kedai minum. Aku berharap bisa membunuh rasa bosanku dengan beberapa teguk minuman dingin.
“Tidak ada uang kecilnya, De’?” tanya pemilik kedai minum
begitu kusodorkan uang duapuluh ribuan, aku menggeleng. Aku lalu duduk di bangku milik si penjual yang ditinggalkannya untuk menukar uang kembalian.
“Fantanya satu.” Seorang gadis menyodorkan uangnya padaku. Aku menerimanya setelah memberi minuman yang dimintanya. Kami berpandangan sesaat, ia terlihat kaget melihatku. Tapi aku tidak hanya kaget, aku benar-benar terpana. Senja itu telah pergi, meninggalkan hitam di dada ini. Tapi aku melihat semburat pagi membias indah di matanya.
“Terima kasih.” Dia masih sempat berpaling saat pergi. Aku mengawasi langkahnya, menjauh dan menghilang di tengah keramaian.
“Hei! Kenapa, De’?” Entah sejak kapan pemilik kedai itu berdiri di sampingku. Aku segera meraih uang kembalian dan berlalu dari tempat itu.
Suara menderu terdengar dari arah jalan raya menandakan bus yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku ikut berebut demi mendapatkan tempat yang nyaman. Beberapa yang lain turun kembali setelah menyimpan barangnya di kursi sebagai tanda kursi tersebut sudah ditempati. Aku memilih tetap ditempatku, menunggu bus berangkat. Kusandarkan kepala sambil memejamkan mataku, mengingat wajah yang tadi menatapku takjub. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.
Aku berlari pelan di antara barisan pohon kapuk yang memagari hamparan ladang yang luas. Pertengahan musim kemarau yang benar-benar panas. Bahkan pohon-pohon telah merelakan daun-daunnya gugur agar dapat bertahan. Tak terkecuali pohon kapuk di sepanjang jalan setapak itu. Daunnya hampir habis. Kulit buahnya mengering dan terbuka. Kapuk-kapuk berhamburan tertiup angin, sebagian jatuh di kepala dan pundakku. Salju putih, bisikku sambil tersenyum. Begitu aku menyebut benda kecil dan ringan itu di depannya, tiap kali bersamanya. Biasanya keningnya akan berkerut menanggapi ucapanku. Bibirnya membentuk tawa, memperlihatkan barisan gigi putihnya. “Dasar aneh!” Kata yang selalu dilontarkannya padaku.
Aku pun selalu menantikan langit pagi yang cerah, tanpa peduli sepanas apa siangnya nanti. Jika semburat pagi muncul, aku bersamanya melewati setapak itu. Menikmati udara pagi dan menyaksikan salju-salju itu jatuh dan tertiup angin.
Aku mengenalnya sebagai jiwa rapuh berbalut kerasnya batu karang. Sebagai bunga kecil di padang ilalang yang hanya tahu padang ilalang sebagai dunianya. Ia yang terlihat berjalan tegar tanpa ada yang tahu hatinya tertatih. Di mataku ia adalah si Upik abu yang tidak pernah bermimpi menjadi Cinderella atau siapapun. Ia membiarkan waktu berjalan dan menunggu kapan waktu benar-benar berhenti.
Dan aku menghampiri dunianya yang kecil itu. Bukan sebagai pangeran, tetapi sebagai mahasiswa Psikolog yang diutus demi tugas akhir. Ayahnya adalah mantan pasien dosen yang mengutusku. Entah kenapa, ayahnya menghentikan konsultasi dan memutuskan kontak.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa membuat ayahnya mau bicara denganku. Begitu pula dengan Wulan. Setiap kedatanganku disambutnya dengan tatapan dingin, meski di sana aku melihat beribu titik air mata yang membeku. Ayahnya yang di masa lalu adalah anak tunggal manja dengan perhatian yang melimpah tiba-tiba dihempas oleh kematian ibu dan isterinya dalam peristiwa kebakaran. Wulan kecil tumbuh menjadi pelindung dan satu-satunya pilar di rumahnya, tugas yang semestinya diemban ayahnya. Saat ayahnya butuh ibu, ia pun mengganti sosoknya sebagai ibu. Jika ayahnya butuh teman, ia pun merubah diri menjadi siapa pun yang dibutuhkan ayahnya. Ayahnya tak pernah tahu betapa ia berharap menjadi seorang anak perempuan di mata ayahnya. Keinginan-keinginan yang tak pernah terwujud terus menekannya, memaksanya menepi di sudut gelap, membangun dunianya sendiri di sana.
Dia membutuhkan bantuan lebih daripada ayahnya. Aku ingin membantunya melihat dunia yang maha luas ini. Membuatnya percaya akan ketulusan matahari memberikan sinarnya. Bagaimana indahnya bahasa langit yang menyapa bumi dengan titik-titik hujan.
Perlahan ia menerima uluran tanganku, dan ia selalu kubawa menyusuri jalan setapak itu. Membantunya mengukir senyum, merangkai tawa memberi warna di dinding hatinya. Dan bila bintang lupa bersinar di langit malamnya, aku datang membawakan setitik cahaya yang akan menemani senyum di tidurnya.
Seperti sebuah pukulan yang membuat dadaku sesak tiap kali mengingat senyum di wajah Awang. Senyum yang sama dengan senyummu saat memuji senja.
“Aku suka senja,” teriak Awang kala itu di kamar.
Aku tidak tahu sejak kapan Awang menyukai senja. Seperti aku tidak mengerti mengapa Wulan bisa begitu mengagumi senja. Yang aku tahu, Wulan sangat senang memandangi langit malam. Setiap bait, setiap lirik yang menyematkan kata bintang akan selalu disimpan dan diingatnya.
Aku kemudian mengerti setelah mendapati mereka duduk berdua di suatu senja. Aku melihat tawa yang sama saat bersamaku menikmati semilir angin pagi. Meski indah, tawa itu serasa sayatan di dadaku.
Bagaimana ia mengenal Awang? Sangat sederhana dibandingkan perkenalanku dengannya. Ia memanggil Awang dengan namaku. Kami memang dua manusia dari satu sel telur. Wajar jika Awang dipanggilnya dengan namaku.
Aku begitu membenci Awang, dengan semua permainannya yang sejak kecil mengharuskanku kalah. Aku tidak hanya membenci senja dan semua bait – bait puitisnya tentang senja yang ditinggalkan di mejanya, mungkin dengan sengaja agar aku melihatnya. Aku pun mulai benci melihat wajahku. Tiap kali melihat ke cermin, aku seperti melihat wajahnya yang menertawakanku.
Hari itu, hari dimana aku lebih memahami semuanya. Tentang senja, tentang Wulan, dan kebohongan Awang. Pagi itu benar-benar indah. Aku telah menuliskan banyak bintang untuknya tadi malam. Dan ia membacanya, melihat ke arahku, membacanya lagi, dan melihatku dengan sorot mata yang membuat hatiku sebiru langit pagi itu. Pagi yang indah, kalau saja Awang tidak muncul di depan kami.
“Gilang!” Wulan memandangi kami bergantian. Aku lebih terkejut lagi. Ia memanggil kami dengan nama yang sama! Awang bereaksi lebih cepat. Dia menarik tangan Wulan dan berlalu dari hadapanku yang masih mencerna apa yang terjadi.
Wulan benar-benar naif dan Awang mampu memanfaatkan itu. Dengan mudah Awang memperoleh maaf darinya, tapi aku tidak. Aku tidak akan memaafkannya! dan terjadilah peristiwa itu. Aku membunuh Awang. Aku tahu jantungnya lemah dan sangatlah mudah bagiku mempermainkan emosinya seperti yang juga dilakukannya terhadapku selama ini. Sebagai calon Psikolog, aku tahu betul emosi yang berlebih akan memacu aliran darahnya dan membuat degup jantungnya tidak normal…
Aku telah membunuhnya dan kuakui semuanya di depan hakim. Pengacara yang di sewa ayahku tak bisa berbuat apa-apa saat jaksa menjeratku dengan hukuman terberat.
***
Awal bulan Juli, bunga bermekaran dan hari selalu diawali dengan cerah. Aku di sini merekam satu per satu gambar di depanku. Barisan pohon kapuk yang mulai berbuah dan sekumpulan burung terbang mengarungi birunya langit. Aku masih ingat, saat kapal menepi di pelabuhan Makassar, betapa gumpalan rindu itu membuncah di tepian hatiku dan aku telah kembali menjawab semua riak rindu itu.
Hari-hari yang kulewati di kamar berjeruji itu lalu berpindah ke tempat rehabilitasi karena pembelaan terakhir pengacaraku yang mengklaimku tidak waras demi membebaskanku dari tuduhan, tidak juga membuatku mengerti untuk apa Awang dan aku melakukan semua ini. Demi dirinya? Atau hanya permainan kami dimana di setiap permainan Awang selalu harus menang?
Dulu aku selalu memaksakan waktuku luang di musim kemarau agar bisa berada di tempat ini bersamamu. Tapi sekarang aku menjauh dari tempat ini sebelum daun jatuh berguguran dan buah kapuk mengering. Tidak akan ada lagi pagi dengan semilir angin dan salju-salju bertebaran.
“Permisi.” Aku berhenti menulis dan menoleh ke arah munculnya suara tadi. Ia terkejut, ekspresi yang sama saat pertama kali melihatku. Gadis itu lalu duduk di sebelahku setelah menyimpan tas kecilnya di antara kami.
“Hai, jualannya sudah tutup, ya?” sapanya. Aku melihat semburat pagi, membias indah di matanya.
“Kenapa menatapku?” tanyaku. Padahal akulah yang tidak bisa melepaskan pandangan dari wajahnya.
“Oh, maaf. Kakak mirip seseorang,” jawabnya lalu meraih komik dari dalam tasnya dan tidak mempedulikanku lagi. Aku yang semestinya mengatakan itu.
Aku menatap matanya yang tenggelam di antara gambar-gambar komik. Ah, mereka tidak mirip, hanya jika dilihat dari jauh. Garis-garis wajahnya memang sama. Tatapannya pun beda.
“Kiri, Pak!” teriaknya lantang mengagetkanku.
“Maaf, permisi,” ujarnya sambil meraih tasnya.
“Itu....” Ia menggamit lenganku dan mengarahkan pandanganku ke seseorang yang menunggu di bangku halte.
“Kakak mirip dengannya,” senyumnya. Aku tersentak, wajah Awang yang pucat melemah hadir di depanku.
Ia tersenyum membalas lambaian gadis di sampingku.
“Kalian mirip, kan?”
“Dia mirip Awang,” ucapku lirih.
“Awang?”
Laki-laki itu berdiri menyambut gadis yang baru turun dari bus. Bus kembali bergerak meninggalkan mereka. Gadis itu melambaikan tangannya padaku dan aku melihat Awang dan wulan berdiri disana.
Senja mulai turun saat bus tiba di pemberhentian terakhir. Aku melambaikan tangan ke arah becak yang parkir di pinggir jalan.
“Pelabuhan…tiga ribu,” tawarku. Si tukang becak mengangguk.
Becak melaju menuju tempat yang kuminta. Sementara di langit sana sebuah bintang mulai hadir. Bersinar sangat terang seolah ingin mengalahkan matahari yang mulai memerah.
Andai aku tahu, ia hanya punya 24 jam setelah hari naas itu, ini tidak perlu terjadi. Aku tidak akan memaksa Awang meninggalkan dunia ini. Aku akan membiarkan Wulan bersama dengan siapapun yang diinginkannya.
*SELESAI*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar