Selasa, 26 Januari 2010

HUJAN TURUN

Hujan yang turun mulai deras. Aku membuka jendela membiarkan angin yang menggila di luar juga mengacak-acak udara di kamarku. Tatapanku tertuju pada tetesan hujan yang membentuk garis menitis ke bumi lalu beralih kepada dua orang yang berjalan di bawah satu payung, menjauh dari pandanganku hingga menjadi bayangan. Lalu pikiranku bersenandung, melagukan sebuah cerita.
#
Seorang anak kecil memakai seragam putih merah berdiri bersandar di pintu sebuah rumah kecil. Tubuhnya merapat ke pintu, berlindung dari terpaan angin yang bercampur rintik air. Tatapannya tertuju ke kebun pisang samping rumah. Seseorang dengan pisau bengkok di tangannya memotong satu pelepah daun pisang. Kaki tuanya bergetar saat berjinjit mencoba meraih daun pisang itu. Pisau bengkok terjatuh setelah mengiris ujung telunjuknya. Seluruh tubuhnya basah. Jari telunjuknya perih.

Anak kecil itu masih menunggu ketika dia muncul di hadapannya dengan senyum yang basah.
“Tehnya sudah diminum?” anak kecil itu mengangguk. Pelan-pelan dibantunya anak itu memegang batang pisang yang telah diiris sehingga mudah untuk dipegang. Anak itu merajuk melihat daun pisangnya. Teman-temannya pasti mengejek. Mereka memakai payung dan ada yang memakai jas hujan lengkap dengan bootnya. Dia bukannya tidak tahu atau tidak mau tahu. Dia tersenyum membujuk dan meraih tangan anaknya, meletakkan daun pisang itu di atas kepalanya.
“Ayo sana, nanti telat.” Anak itu akhirnya mengalah dan berlari kecil. Lupa pada rutinitas yang selalu dilakukannya sebelum pergi, mencium punggung tangannya. Dia tertegun. Kelupaan itu melukai hatinya. Lebih perih dari luka di ujung telunjuknya. Dadanya sesak tapi dia tersenyum. Ditatapnya langkah anak itu menembus hujan.
“Hati-hati, jangan sampai basah!” teriaknya padahal dia sendiri basah kuyup.

Ketika hendak menutup pintu, matanya menatap seorang di ujung jalan berlari di tengah hujan. Ke arahnya. Daun pisang di atas kepalanya berkibar-kibar karena angin. Anak kecil menatapnya dengan senyum yang basah, meraih tangannya dan menciumnya. “Saya lupa, Ma’….” Lalu kembali berlari menembus hujan. Daun pisang masih di atas kepalanya, berkibar-kibar.
Dia tersenyum. Hatinya terasa hangat meski tubuhnya menggigil.
#
Hujan dan angin masih menggila di luar sana. Aku menutup jendela.

Anak kecil itu pasti sudah besar sekarang. Mungkin seumuran denganku. Mungkin dia sudah lupa pada cerita itu. Atau dia mungkin sepertiku sekarang. Menatap hujan dari jendela kamar, dan menikmati kisahnya dengan secangkir teh hangat kesukaannya.

Tidak ada komentar: