Kamis, 06 Desember 2007

Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari

Kalau boleh, aku mengatas namakan matahari-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan bumi-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan hutan-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan laut-NYA
Kalau boleh, Aku mengatas namakan tanah dan air-NYA

Kalau boleh, Aku mengatas namakan ibu,
Atas nama pertiwi ku,

Kepada anda yang menghianati ibu
Kutulis ini untuk mereka yang tak henti kau peras untuk mengisi kantungmu!!!!

Tertanda,

Anak negeri



Berguru pada matahari, belajar menjadi matahari



Aku menyebutnya maha guru. Mungkin dia tidak akan keberatan.
Pagi itu, entah dari mana pikiran gila itu muncul. Aku menyuruh sopir menghentikan mobil, lalu aku turun. Pak, tunggu saya di perempatan, ucapku saat itu. Pak sopir tampak keheranan dengan kelakuanku yang sangat tidak biasa tapi ia kemudian mengangguk. Aku memandangi AVP hitamku yang melaju pelan menjauhiku. Lalu mataku beralih ke sekitar jalan. Sejak kapan jalan seperti ini? Kenapa aku tidak pernah melihat yang seperti ini? Tapi aku lalu menertawai diri. Aku memang melewati jalan ini setiap hari. setiap harinya! Tapi aku di dalam mobil, tertutup. Dan di dalam mobil, mana sempat melihat ke jalan. Sebab di tanganku sudah ada setumpuk kertas yang menyita seluruh perhatianku.

Rumput-rumput di pinggirannya hijau segar. Aku memperlambat langkahku, menikmati setiap jejak udara dingin yang menyusupi kulitku. Ternyata dingin yang kurasakan berbeda dengan dingin yang keluar dari AC mobilku. ini jauh lebih segar. Aku mengendorkan dasi dan membuka kancing atas kemejaku. Membiarkan angin dingin menyusup lebih jauh.
Aku kemudian menghela nafas. Awalnya berat. Bagaimana tidak? Di pikiranku melintas bayangan atasanku dengan muka menegang menatapku. Proyek ini tidak boleh gagal! Perusahaan sudah berkorban banyak! Kerugian akan sangat besar! ucapnya meninggi. Yah, proyek yang dipercayakan padaku memang diujung tanduk. Aku bahkan belum berhasil mencapai kesepakatan dengan para pemilik tanah yang akan dijadikan lahan proyek.

Aku menarik nafas lagi. Kali ini terasa lebih ringan. Udara segar memenuhi rongga dadaku. Seperti ada yang mengangkat bebanku sebentar. Terima kasih, ucapku pelan. Entah pada siapa.
Aku menebar pandanganku lalu kulihat sebuah senyum muncul di sana. Wajahnya bersinar. kemilaunya hangat menyapa. Selamat pagi, ucapnya. Aku menoleh, dia bicara padaku? Ah, tidak. Sepertinya dia menyapa semua yang ada di sini. Selamat pagi, dia terdengar lagi.
Pagi, balasku lesu.
Kupikir suaraku yang menggema. Tapi ternyata bukan hanya aku yang membalas sapanya. Dan berbeda denganku semua tampak bersemangat menyambut kedatangannya. Aku tergugah. Siapa dia?

Lalu aku teringat dua hari yang lalu. Dengan modal senyum dan sapaan itu, aku berdiri di depan sekelompok masyarakat yang menuntut tanah mereka. Tidak ada yang menyambutku sehangat mereka menyambut matahari.

Aku mungkin mulai gila. Tapi dia benar-benar menatap dan tersenyum padaku.

Ada apa, anak muda? Dari semua yang nampak dari sini, kau yang terlihat paling merana, senyumnya. Aku melihat sekelilingku. Dia benar, semua tampak bahagia pagi ini. Sepasang petani tua di ujung mataku tampak mesra saling melayani. Sekelompok petani berjalan sambil memanggul pacul, riuh saling melempar sapa. Barisan padi menghijau terhampar, meliuk-liuk menyambut sinarnya. Rumput-rumput ikut menari di sekitarnya.

Tiiit...tiiit, alarm jam di pergelangan tanganku berbunyi. Aku bangkit. Banyak hal yang harus kuselesaikan pagi ini. Aku menyusuri jalan menuju perempatan tempat mobilku diparkir. Di setiap langkah, aku tidak henti berpikir. Jalan ini nantinya akan bertambah 5 meter ke samping kiri dan kanan. Di pinggir jalan, berderet rumah-rumah yang tersusun rapi hingga ke ujungnya. Rumah-rumah ini akan lenyap, bisikku. Aku berhenti sejenak. Pandanganku berhenti di sebuah sumber riuh tak jauh tempatku berdiri. Sejenak aku terpana. Sekelompok anak kecil berlarian mengejar dan memperebutkan bola. Lalu aku melihat diriku yang masih kanak ikut berlarian dan tertawa. Yang lain menertawakan langkah kecilku. Tapi aku tak peduli. Aku ikut memperebutkan bola. Dan di atas kepala kami, sebuah bola besar bercahaya ikut menyaksikan jalannya permainan. Keringatku tampak bercucuran tapi aku tidak peduli. Aku terus saja berlari meski tak pernah sekalipun menyentuh bola.

Dia menatapku dan berteriak, Lihat mereka! Mereka adalah dirimu! Keringatku meleleh di sudut dahiku. Kemudian dia tersenyum. Kau sama seperti mereka. Sama-sama berlari. Mereka mengejar bola. Dan kau mengejar sesuatu yang tidak ada.

Aku berjalan melanjutkan langkah. Tidak mempedullikan teriakannya. Lapangan itu juga akan lenyap, bisikku lagi. Aku sendiri tak tahu, Nuraniku lenyap ke mana.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mau donk seperti matahari